MUTIARA FIQIH BULUGHUL MARAM: SUCINYA AIR LAUT |
MUTIARA FIQIH BULUGHUL MARAM: SUCINYA AIR LAUT
HADIS NO 1 SUCINYA AIR LAUT
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي اَلْبَحْرِ : - هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ - أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ.
Dari Abu Hurairah, Radliyallaahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang laut, "Laut itu airnya suci, bangkainya pun halal."(HR. Imam yang Empat, Ibnu Abi Syaibah dan lafaz ini menurut riwayatnya (Ibnu Abi Syaibah). Dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Diriwayatkan pula oleh Malik, al-Syafi'i dan Ahmad)
Mutiara Fiqih
1. Nama “Abu Hurairah” adalah nama kunyah atau gelar, yang diberikan Rasul saw, karena sikapnya yang sangat menyayangi kucing peliharaannya. Sedangkan nama aslinya, adalah Abdurrahman bin Sakhr ad-Dausi (dari Bani Daus bin Adnan) al-Yamani. Masuk islam pada tahun Khaibar. Ia adalah salah seorang sahabat Rasul saw yang diberi gelar kehormatan oleh para ulama dengan al-Imam, al-Faqih, al-Mujtahid, dan al-Hafizh. Ia pun merupakan sahabat terbanyak nomor wahid yang meriwayatkan hadis dari Rasul saw, yakni sebanyak 5.374 hadis. Al-Bukhari berkata, meriwayatkan darinya sekitar 800 orang atau lebih. Ia dilahirkan pada tahun 19 sebelum hijriah, sedangkan meninggalnya di ‘Aqiq pada tahun 59 hijriah.
2.
Hadis ini SHAHIH. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Sunan abu dawud (83), al-Tirmidzi, sunan al-tirmidzi (69), al-Nasai, sunan al-nasai (59), Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (386), Ibnu Abi Syaibah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (1378), Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah (111), Malik, al-Muwatha’ Malik (22), al-Syafi’I, Musnad al-Syafi’i (1), Ahmad, Musnad Ahmad (7192). Lihat, al-Ilmam (1), al-Muharrar (1).
Hadis ini dishahihkan oleh al-Bukhari, al-Tirmidzi, al-Hakim, Ibnu al-Sakan, Ibnu Hiban, Ibnu al-Mundzir, al-Thahawi, al-Baghawi, al-Khathabi, Ibnu Khuzaimah, al-Daraquthni, Ibnu Mandah, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Daqiqil ‘Id, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, dan yang lainnya lebih dari 36 imam. Lihat, al-Talkhis al-Habir (1/21-24), Nashb al-Rayah (1/96), Silsilah al-Shahihah (480), dan al-Irwa (9).
Hadis ini sebenarnya dalam setiap jalurnya terdapat perselisihan di kalangan para ulama, namun karena banyaknya jalur, di antaranya bersumber dari Sembilan orang sahabat, maka dengan banyaknya itu dinyatakan shahih. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadis ini dinyatakan shahih karena jumlah jalurnya yang banyak, hadis lain tidak ada yang mencapai derajat ini, bahkan tidak ada yang mendekatinya.” (lihat, al-Talkhis 1/2-4, Nail al-Authar 1/14-16)
Hadis di atas dinyatakan sebagai lafazh Ibnu Abi Syaibah, namun setelah dicek langsung dari kitab al-Mushannaf ternyata tidak ditemukan lafazh demikian. Ini terjadi dua kemungkinan, pertama faktor kitab al-mushannaf yang beda redaksi karena salah cetak atau beda penerbit. Kedua, faktor al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai mushannif yang keliru dalam mengutip. Ada juga yang mengatakan, mengikuti kitab al-Muharar.
3.
Hadis ini populer dengan sebutan hadis al-bahru (laut). Banyak faedah dan pelajaran yang dapat diambil dari hadis ini. Imam As-Syafi’i berkata, “Kandungan hadis ini separuhnya ilmu thaharah (bersuci)”. Ibnul Mulqin berkata, “Bahwasanya hadis ini adalah hadis yang agung, pokok dalam masalah thaharah, yang mengandung hukum-hukum yang banyak dan qaidah-qaidah yang penting.” (al-Fath al-Rabani 1/202)
4. Dalam riwayat Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi, Abu Hurairah berkata, “Pada suatu hari ketika kami berada di samping Rasulullah saw., tiba-tiba datang seorang nelayan (pemburu ikan), dia bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami pergi ke laut bermaksud untuk memburu, lalu salah seorang dari kami membawa kantong kulit (wadah air), ia berharap mendapatkan ikan di tempat yang dekat, namun kadang ia mendapatkannya demikian, namun kadang ia tidak mendapatkan ikan hingga sampai ke tempat yang jauh, lalu dia ihtilam (mimpi basah) atau akan berwudhu, jika dia mandi atau berwudhu dengan air tersebut (dalam wadah), niscaya kami akan binasa karena kehausan, apakah menurut engkau kami boleh mandi atau berwudhu dengan air laut jika kami takut seperti itu ? Maka Rasulullah saw. menjawab, mandilah darinya dan berwudhulah, karena laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (al-Lam’u fi Asbab Wurud al-Hadis 1/31-32)
5. Dalam riwayat al-daraquthni disebutkan bahwa orang yang bertanya tentang air laut ini namanya Abdullah al-Mudliji. Sementara dalam riwayat al-Thabrani namanya Abd Abu Zum’ah al-Balawi. Meski tidak ada kesepakatan yang pasti tentang nama sang penanya, yang jelas ada orang yang bertanya kepada Nabi saw. tentang air laut. (Al-Talkhis al-Habir 1/7)
6.
Hadis ini menunjukkan bahwa air laut itu suci dan mensucikan. Bahwasanya air laut dapat menghilangkan hadats akbar dan ashgar, dan menghilangkan najis yang kena pada tempat yang suci, seperti badan, pakaian, atau yang lainnya.
7. Laut itu suci airnya, menunjukkan bahwa air laut itu dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan. Tak ada bedanya dengan air sumur, air ledeng, dan air sungai yang biasa kita gunakan sehari-hari. Bisa digunakan untuk wudu, mandi, mencuci makanan termasuk untuk minum. Jawaban seperti ini menunjukkan sifat fathanah (kecerdasan) beliau sebagai seorang nabi. Ketika ditanya bolehkah berwudu dengan air laut ? jawabnya, air laut boleh dipergunakan untuk apapun karena suci dan mensucikan.
8. Al-hillu atau al-halalu maitatuhu, (laut itu) halal bangkainya, ini merupakan mahasinul-fatawa, sebaik-baiknya jawaban. Karena meskipun tidak ditanyakan, jawaban tersebut penting untuk diketahui oleh orang banyak. Terutama bagi orang yang berlayar dan hidup di daerah sekitar pantai yang kesehariannya menkonsumsi binatang laut.
9. Binatang laut adalah binatang yang hidup di laut. Adapun binatang darat yang mati di laut itu tidak termasuk binatang laut. Meskipun mati di laut, karena statusnya binatang darat maka hukum bangkainya tetap haram dimakan.
10. Bahwasanya mufti (pemberi fatwa), apabila ditanya tentang sesuatu, dan dia mengetahui bahwa yang bertanya memerlukan penjelasan (urusan lain) yang berkaitan dengan pertanyaannya, maka sunat hukumnya mengajarkan (urusan yang berkaitan itu) kepadanya, karena ziyadah (tambahan) dalam jawaban (seperti “halal bangkainya”) untuk menyempurnakan faidah, yaitu bertambah manfaat bagi nelayan sebagaimana bermanfaatnya bagi yang bertanya diantara mereka, dan ini termasuk mahasinul fatawa.
11.
Hadis ini menunjukkan tidak wajib membawa air yang cukup untuk bersuci, karena dalam hadis tersebut mereka membawa air yang sedikit.
12. Bahwa air yang menghilangkan hadats dan membersihkan najis adalah wajib air yang bersih, karena nabi saw membolehkan berwudu dengan air tersebut menunjukkan bersihnya air tersebut.
13.
Binatang laut tidak perlu disembelih karena syari’ menghalalkan bangkainya.
14. Bolehnya berlayar ke laut selain untuk haji, umrah dan jihad.
15. Adanya tuntutan bagi orang yang tidak mengetahui suatu urusan untuk bertanya kepada ahli ilmu. Wallahu a’lam bi al-shawwab !
Referensi :
1. Subul al-Salam Syarah Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-Shan’ani, Dar al-Fikr, tt.
2. Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Dar Al-Alamiyyah, Cetakan ketiga, 1437 H / 2016 M.
3. Minhat al-Alam Fi Syarh Bulugh al-Maram, Abdullah bin Shalih al-Fauzan, Dar Ibnu al-Jauzi, Cetakan pertama, Rabiul Akhir 1428 H.
4. Talkhis al-Habir Fi Takhrij Ahadits al-Rafi’I al-Kabir, Ibnu Hajar al-Asqalani, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah-Beyrut, Cetakan ketiga, 1435 H/ 2014 M.
-----
Rabu pagi, 17 Jumadil Ula 1443 H/ 22 Desember 2021 M
@ Maktabah Abu Abyan – Lembang Bandung Barat
@ Ahmad Wandi Lembang
@ Artikel awalofficial.com
=========
Dapatkan update artikel islam setiap harinya dari ahmadwandi.blogspot.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kajian AWAL Official", caranya klik link https://t.me/awalofficialcom, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar