![]() |
| MENCAMPURADUKKAN HAQ DAN BATIL (PIXSABAY) |
ASAL USUL SEJARAH PERAYAAN NATAL BERSAMA
Artikel Terbaru Ke - 245
Oleh : Ahmad Wandi, M.Pd (ahmadwandilembang.com)
Wacana perayaan Natal bersama, khususnya yang melibatkan
umat Islam, bukanlah fenomena yang lahir dari khazanah ajaran Islam klasik.
Secara historis dan konseptual, gagasan bolehnya perayaan Natal bersama tidak
berakar dari fikih Islam, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, maupun pendapat para
ulama mu‘tabar lintas mazhab. Sebaliknya, gagasan tersebut merupakan produk
perkembangan pemikiran modern yang dipengaruhi oleh pendekatan teologis dan
sosiologis kontemporer, terutama yang bersumber dari pluralisme agama dan
liberalisasi pemahaman toleransi.
Dalam tradisi fikih Islam klasik, para ulama dari empat mazhab sepakat bahwa hari raya merupakan syi‘ar agama dan bagian dari ibadah. Karena itu, keikutsertaan seorang Muslim dalam perayaan hari raya agama lain dipandang sebagai pelanggaran terhadap prinsip tauhid dan identitas keislaman. Tidak ditemukan satu pun kitab fikih mu‘tabar yang membolehkan umat Islam ikut serta dalam perayaan Natal, baik secara langsung maupun simbolik. Bahkan, larangan tersebut ditegaskan secara tegas oleh para ulama besar.
Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah رحمه الله dalam Iqtiḍā’ aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm menegaskan bahwa menyerupai dan menghadiri perayaan agama non-Muslim adalah bentuk persetujuan terhadap kekufuran mereka, meskipun tanpa niat mengakui keyakinannya (Jilid 1, hlm. 470). Hal yang sama ditegaskan oleh Ibn al-Qayyim رحمه الله dalam Aḥkām Ahl adz-Dzimmah, bahwa memberi ucapan selamat atau ikut serta dalam hari raya orang-orang kafir adalah haram berdasarkan ijma‘ ulama (Jilid 1, hlm. 441).
Dengan demikian, secara historis, tidak ada
legitimasi syar‘i dalam Islam klasik yang membolehkan perayaan Natal bersama.
Perubahan cara pandang baru mulai muncul pada abad ke-20, seiring berkembangnya
pemikiran pluralisme agama di Barat. Pluralisme agama tidak sekadar mengakui
keberagaman agama sebagai fakta sosial, tetapi melangkah lebih jauh dengan
memandang semua agama sebagai jalan keselamatan yang setara (religious
equality). Dalam kerangka ini, perbedaan teologis tidak lagi dipandang
sebagai klaim kebenaran yang saling menafikan, melainkan sebagai variasi
ekspresi manusia dalam merespons realitas ketuhanan.
Tokoh sentral pluralisme agama adalah John Hick, seorang filsuf dan teolog Kristen, yang menyatakan bahwa semua agama merupakan respons kultural manusia terhadap “The Real” atau realitas transenden yang sama. Menurutnya, tidak ada satu agama pun yang berhak mengklaim kebenaran absolut secara eksklusif. Pandangan ini dijelaskan secara sistematis dalam karyanya An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (Yale University Press, 1989), khususnya pada halaman 240–249. Dalam kerangka pemikiran Hick, perayaan lintas agama, termasuk Natal bersama, tidak lagi dipahami sebagai ritual ibadah yang eksklusif, melainkan sebagai ekspresi kebersamaan spiritual lintas iman.
Cara pandang pluralisme inilah yang kemudian
memengaruhi sebagian intelektual Muslim modern, terutama mereka yang mengusung
gagasan pluralisme, inklusivisme, dan teologi kerukunan. Dalam pendekatan ini,
batas antara ibadah dan relasi sosial menjadi kabur. Natal bersama diposisikan
bukan sebagai perayaan teologis Kristen, melainkan sebagai simbol persaudaraan,
solidaritas kemanusiaan, dan toleransi antarumat beragama. Namun, pendekatan
semacam ini menuai kritik keras dari para ulama karena dinilai menggeser batas
fundamental antara toleransi sosial dan kompromi teologis.
Di Indonesia, gagasan bolehnya perayaan Natal
bersama mulai menguat pasca-Orde Baru, seiring terbukanya ruang kebebasan
berpikir dan menguatnya diskursus pluralisme agama. Sejumlah kalangan liberal
mempromosikan gagasan bahwa partisipasi lintas agama dalam perayaan hari besar
keagamaan merupakan keniscayaan dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks ini,
Natal bersama dipahami sebagai agenda kebangsaan dan simbol harmoni, bukan lagi
persoalan akidah. Namun, justru di titik inilah para ulama melihat adanya
persoalan serius, karena agama direduksi menjadi sekadar identitas sosial dan
kehilangan dimensi teologisnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menolak landasan pemikiran pluralisme agama tersebut. Melalui Fatwa MUI Nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama, MUI menyatakan bahwa pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan semua agama sama dan kebenarannya relatif, dan karena itu umat Islam haram mengikutinya (hlm. 6–7). Fatwa ini menegaskan bahwa pluralisme agama bukan sekadar pengakuan atas keberagaman, melainkan ideologi teologis yang bertentangan dengan akidah Islam.
Penolakan MUI ini konsisten dengan Fatwa MUI No.
Kep-33/MUI/XII/1981 tentang Perayaan Natal Bersama, yang menegaskan bahwa
kebolehan Natal bersama tidak memiliki dasar syar‘i dan justru berpotensi
merusak akidah umat Islam. MUI menekankan bahwa toleransi antarumat beragama
harus diwujudkan dalam bentuk saling menghormati dan bekerja sama dalam urusan
sosial, bukan dengan ikut serta dalam ritual ibadah agama lain.
Sikap yang sama juga dipegang oleh ulama Persatuan
Islam (Persis). Dewan Hisbah Persis menilai bahwa pembolehan Natal bersama
bersumber dari cara pandang pluralisme agama, bukan dari fikih Islam. Dalam
pandangan Persis, toleransi tidak berarti ikut dalam ibadah agama lain, karena
hal tersebut bertentangan dengan prinsip tauhid dan al-walā’ wal-barā’. Persis
secara konsisten menolak segala bentuk sinkretisme dan pencampuran ibadah,
karena dianggap dapat melemahkan akidah umat dan membuka pintu relativisme
kebenaran agama.
Dengan demikian, secara historis dan konseptual,
dapat disimpulkan bahwa bolehnya perayaan Natal bersama bukanlah produk ajaran
Islam, melainkan produk pemikiran pluralisme agama dan pendekatan sosiologis
modern yang menafsirkan toleransi secara teologis longgar. Islam tidak menolak
toleransi, bahkan sangat menjunjung tinggi perdamaian, keadilan, dan
penghormatan terhadap pemeluk agama lain. Namun, Islam juga menetapkan batas yang
tegas agar toleransi tidak berubah menjadi kompromi akidah. Batas itu
ditegaskan secara jelas dalam firman Allah Ta‘ala:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kāfirūn [109]: 6)
Ayat ini menjadi fondasi bahwa hidup berdampingan
secara damai tidak menuntut pencampuran keyakinan dan ritual ibadah. Oleh
karena itu, memahami asal usul sejarah perayaan Natal bersama menjadi penting
agar umat Islam tidak terjebak pada wacana toleransi yang melampaui batas
syariat, serta tetap mampu menjaga kemurnian akidah di tengah realitas
masyarakat yang plural.
Lembang, 01 Rajab 1447 H/ 21 Desember
2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar