NATAL BERSAMA; BERCANA (AQIDAH) DI KEMENTERIAN AGAMA - Ahmad Wandi Lembang

Terus berkarya, berbagi inspirasi, dan menebar manfaat

Breaking

Minggu, 21 Desember 2025

NATAL BERSAMA; BERCANA (AQIDAH) DI KEMENTERIAN AGAMA

 

PERAYAAN NATAL (PIXABAY)


NATAL BERSAMA; BERCANA (AQIDAH) DI KEMENTERIAN AGAMA

 

Artikel Terbaru Ke - 244

 

Oleh : Ahmad Wandi, M.Pd (ahmadwandilembang.com)

 

Wacana perayaan Natal bersama yang kembali dimunculkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia menimbulkan kegelisahan yang wajar di tengah umat Islam. Kegelisahan ini bukan lahir dari sikap anti-toleransi atau kebencian kepada pemeluk agama lain, melainkan dari kesadaran teologis bahwa persoalan Natal menyentuh wilayah akidah dan ibadah, bukan semata urusan sosial atau kebudayaan. Dalam Islam, toleransi memiliki batas yang jelas, yakni tidak mencampurkan keyakinan dan ritual ibadah. Oleh karena itu, setiap ajakan atau kebijakan yang mengarahkan umat Islam untuk terlibat dalam perayaan Natal bersama perlu dikaji secara ilmiah berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan penjelasan para ulama mu‘tabar.

 

Islam menegaskan prinsip eksklusivitas akidah tauhid. Allah Ta‘ala berfirman:

 

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

 

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 19)

 

Ayat ini bukan sekadar pernyataan identitas, tetapi juga penegasan batas keyakinan. Seorang Muslim dituntut untuk menjaga kemurnian tauhid dari segala bentuk pengaburan. Natal, dalam doktrin Kristen, bukan sekadar peringatan sejarah kelahiran Nabi Isa عليه السلام, melainkan perayaan teologis yang berkaitan erat dengan keyakinan ketuhanan Isa atau konsep trinitas. Konsep ini secara tegas ditolak oleh Al-Qur’an. Allah berfirman:

 

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ

 

“Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putra Maryam’.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 17)

 

Karena itu, keikutsertaan umat Islam dalam perayaan Natal bersama, meskipun tanpa niat mengakui akidah tersebut, tetap berpotensi mengandung unsur persetujuan lahiriah terhadap syi‘ar agama lain. Inilah yang menjadi perhatian utama para ulama ketika membahas hukum menghadiri hari raya non-Muslim. Rasulullah telah memberikan kaidah tegas dalam hadisnya:

 

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

 

“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abū Dāwūd no. 4031; dinilai hasan oleh al-Albānī dalam Ṣaḥīḥ Sunan Abī Dāwūd)

 

Para ulama menjelaskan bahwa hari raya merupakan syi‘ar agama yang paling khas. Menyerupai atau ikut serta di dalamnya termasuk bentuk tasyabbuh yang dilarang, karena menyerupai suatu kaum dalam perkara yang menjadi identitas agama mereka.

 

Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah رحمه الله menegaskan secara panjang lebar dalam kitab Iqtiḍā’ aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm

bahwa kaum Muslimin dilarang menghadiri atau menyerupai perayaan agama non-Muslim. Beliau berkata: “Tidak halal bagi kaum Muslimin untuk menyerupai mereka dalam sesuatu yang menjadi kekhususan hari raya mereka, baik berupa makanan, pakaian, perkumpulan, maupun ibadah.” (Ibn Taymiyyah,
Iqtiḍā’ aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm, Jilid 1, hlm. 470, Dār ‘Ālam al-Kutub)

 

Ibn al-Qayyim رحمه الله bahkan menyatakan bahwa hukum ini telah disepakati para ulama. Ia menulis: “Memberi ucapan selamat atas hari raya orang-orang kafir yang menjadi syi‘ar agama mereka adalah haram menurut kesepakatan ulama.” (Ibn al-Qayyim, Aḥkām Ahl adz-Dzimmah, Jilid 1, hlm. 441, Dār Ibn al-Qayyim)

 

Pandangan ini bukan pandangan minoritas. Ulama dari keempat mazhab fikih sepakat bahwa menghadiri perayaan agama non-Islam, apalagi yang bersifat ritual dan simbolik, hukumnya haram. Hal ini karena perbuatan tersebut bertentangan dengan prinsip al-walā’ wal-barā’, yaitu loyalitas kepada iman dan berlepas diri dari kekufuran dalam urusan akidah.

 

Di Indonesia, sikap ini ditegaskan secara resmi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa MUI Nomor Kep-33/MUI/XII/1981 tentang Perayaan Natal Bersama. Dalam fatwa tersebut, MUI dengan tegas menyatakan bahwa umat Islam haram mengikuti perayaan Natal bersama karena Natal adalah ibadah agama Kristen, bukan kegiatan sosial biasa. MUI juga menegaskan bahwa kerukunan antarumat beragama tidak harus diwujudkan dengan ikut serta dalam ritual agama lain, tetapi dengan saling menghormati dan bekerja sama dalam urusan sosial kemasyarakatan.

 

Ulama Persatuan Islam (Persis) sejak lama juga konsisten dalam masalah ini. Dalam keputusan dan penjelasan Dewan Hisbah Persis, ditegaskan bahwa perayaan hari besar agama non-Islam, termasuk Natal bersama, tidak boleh diikuti oleh umat Islam karena berpotensi merusak kemurnian tauhid dan menimbulkan syubhat akidah. Persis memandang bahwa toleransi sejati justru terwujud ketika setiap pemeluk agama teguh dengan prinsip ajarannya masing-masing, bukan dengan mencampuradukkan ibadah.

 

Pandangan serupa juga disampaikan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah. Dalam berbagai keputusan tarjih dan Tanya Jawab Agama, ditegaskan bahwa keikutsertaan umat Islam dalam perayaan Natal, baik secara langsung maupun simbolik, tidak dibenarkan secara syar‘i. Natal dipahami sebagai bagian dari ibadah dan keyakinan agama lain, sehingga tidak dapat diposisikan sebagai sekadar acara kebangsaan atau seremonial.

 

Dalam konteks kebijakan Kementerian Agama, perlu ditegaskan bahwa pejabat publik Muslim tetap terikat dengan hukum syariat dalam perkara akidah. Jabatan dan alasan menjaga harmoni sosial tidak dapat dijadikan dasar untuk melanggar prinsip-prinsip dasar agama. Islam mengajarkan toleransi yang adil dan bermartabat, sebagaimana firman Allah:

 

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

 

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kāfirūn [109]: 6)

 

Ayat ini menegaskan batas toleransi yang jelas: saling menghormati tanpa saling mencampuri urusan ibadah dan keyakinan. Oleh karena itu, wacana Natal bersama yang melibatkan umat Islam, apalagi difasilitasi oleh negara, patut dikritisi secara ilmiah agar tidak menimbulkan kekacauan pemahaman di tengah umat. Menjaga akidah adalah kewajiban utama, dan toleransi sejati tidak pernah menuntut pengorbanan prinsip tauhid.

 

Lembang, 01 Rajab 1447 H/ 21 Desember 2025

 

@ Ahmad Wandi Lembang

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ARTIKEL SEBELUMNYA

ASAL USUL SEJARAH PERAYAAN NATAL BERSAMA

  MENCAMPURADUKKAN HAQ DAN BATIL (PIXSABAY) ASAL USUL SEJARAH PERAYAAN NATAL BERSAMA   Artikel Terbaru Ke - 245   Oleh : Ahmad Wandi...