![]() |
| PERAYAAN NATAL (PIXABAY) |
NATAL
BERSAMA; BERCANA (AQIDAH) DI KEMENTERIAN AGAMA
Artikel Terbaru Ke - 244
Oleh : Ahmad Wandi, M.Pd (ahmadwandilembang.com)
Wacana
perayaan Natal bersama yang kembali dimunculkan oleh Kementerian Agama Republik
Indonesia menimbulkan kegelisahan yang wajar di tengah umat Islam. Kegelisahan
ini bukan lahir dari sikap anti-toleransi atau kebencian kepada pemeluk agama
lain, melainkan dari kesadaran teologis bahwa persoalan Natal menyentuh wilayah
akidah dan ibadah, bukan semata urusan sosial atau kebudayaan. Dalam Islam,
toleransi memiliki batas yang jelas, yakni tidak mencampurkan keyakinan dan
ritual ibadah. Oleh karena itu, setiap ajakan atau kebijakan yang mengarahkan
umat Islam untuk terlibat dalam perayaan Natal bersama perlu dikaji secara
ilmiah berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan penjelasan para ulama mu‘tabar.
Islam
menegaskan prinsip eksklusivitas akidah tauhid. Allah Ta‘ala berfirman:
إِنَّ
الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 19)
Ayat ini
bukan sekadar pernyataan identitas, tetapi juga penegasan batas keyakinan.
Seorang Muslim dituntut untuk menjaga kemurnian tauhid dari segala bentuk
pengaburan. Natal, dalam doktrin Kristen, bukan sekadar peringatan sejarah
kelahiran Nabi Isa عليه السلام, melainkan perayaan
teologis yang berkaitan erat dengan keyakinan ketuhanan Isa atau konsep
trinitas. Konsep ini secara tegas ditolak oleh Al-Qur’an. Allah berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ
الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
“Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putra Maryam’.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 17)
Karena itu,
keikutsertaan umat Islam dalam perayaan Natal bersama, meskipun tanpa niat
mengakui akidah tersebut, tetap berpotensi mengandung unsur persetujuan
lahiriah terhadap syi‘ar agama lain. Inilah yang menjadi perhatian utama para
ulama ketika membahas hukum menghadiri hari raya non-Muslim. Rasulullah ﷺ telah memberikan kaidah tegas dalam
hadisnya:
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abū Dāwūd no. 4031; dinilai hasan oleh al-Albānī dalam Ṣaḥīḥ Sunan Abī Dāwūd)
Para
ulama menjelaskan bahwa hari raya merupakan syi‘ar agama yang paling khas.
Menyerupai atau ikut serta di dalamnya termasuk bentuk tasyabbuh yang dilarang,
karena menyerupai suatu kaum dalam perkara yang menjadi identitas agama mereka.
Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah رحمه الله menegaskan secara panjang lebar dalam kitab Iqtiḍā’ aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm
bahwa kaum Muslimin dilarang menghadiri atau menyerupai perayaan agama non-Muslim. Beliau berkata: “Tidak halal bagi kaum Muslimin untuk menyerupai mereka dalam sesuatu yang menjadi kekhususan hari raya mereka, baik berupa makanan, pakaian, perkumpulan, maupun ibadah.” (Ibn Taymiyyah,Iqtiḍā’ aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm, Jilid 1, hlm. 470, Dār ‘Ālam al-Kutub)
Ibn al-Qayyim
رحمه الله bahkan menyatakan bahwa hukum ini telah
disepakati para ulama. Ia menulis: “Memberi ucapan selamat atas hari raya
orang-orang kafir yang menjadi syi‘ar agama mereka adalah haram menurut
kesepakatan ulama.” (Ibn al-Qayyim, Aḥkām Ahl
adz-Dzimmah, Jilid 1, hlm. 441, Dār Ibn al-Qayyim)
Pandangan ini
bukan pandangan minoritas. Ulama dari keempat mazhab fikih sepakat bahwa
menghadiri perayaan agama non-Islam, apalagi yang bersifat ritual dan simbolik,
hukumnya haram. Hal ini karena perbuatan tersebut bertentangan dengan prinsip
al-walā’ wal-barā’, yaitu loyalitas kepada iman dan berlepas diri dari kekufuran
dalam urusan akidah.
Di
Indonesia, sikap ini ditegaskan secara resmi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
melalui Fatwa MUI Nomor Kep-33/MUI/XII/1981 tentang Perayaan Natal Bersama.
Dalam fatwa tersebut, MUI dengan tegas menyatakan bahwa umat Islam haram mengikuti
perayaan Natal bersama karena Natal adalah ibadah agama Kristen, bukan kegiatan
sosial biasa. MUI juga menegaskan bahwa kerukunan antarumat beragama tidak
harus diwujudkan dengan ikut serta dalam ritual agama lain, tetapi dengan
saling menghormati dan bekerja sama dalam urusan sosial kemasyarakatan.
Ulama Persatuan Islam (Persis) sejak lama juga konsisten dalam masalah ini. Dalam keputusan dan penjelasan Dewan Hisbah Persis, ditegaskan bahwa perayaan hari besar agama non-Islam, termasuk Natal bersama, tidak boleh diikuti oleh umat Islam karena berpotensi merusak kemurnian tauhid dan menimbulkan syubhat akidah. Persis memandang bahwa toleransi sejati justru terwujud ketika setiap pemeluk agama teguh dengan prinsip ajarannya masing-masing, bukan dengan mencampuradukkan ibadah.
Pandangan
serupa juga disampaikan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah. Dalam berbagai
keputusan tarjih dan Tanya Jawab Agama, ditegaskan bahwa keikutsertaan umat
Islam dalam perayaan Natal, baik secara langsung maupun simbolik, tidak
dibenarkan secara syar‘i. Natal dipahami sebagai bagian dari ibadah dan
keyakinan agama lain, sehingga tidak dapat diposisikan sebagai sekadar acara
kebangsaan atau seremonial.
Dalam
konteks kebijakan Kementerian Agama, perlu ditegaskan bahwa pejabat publik
Muslim tetap terikat dengan hukum syariat dalam perkara akidah. Jabatan dan
alasan menjaga harmoni sosial tidak dapat dijadikan dasar untuk melanggar
prinsip-prinsip dasar agama. Islam mengajarkan toleransi yang adil dan
bermartabat, sebagaimana firman Allah:
لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kāfirūn [109]: 6)
Ayat ini
menegaskan batas toleransi yang jelas: saling menghormati tanpa saling
mencampuri urusan ibadah dan keyakinan. Oleh karena itu, wacana Natal bersama
yang melibatkan umat Islam, apalagi difasilitasi oleh negara, patut dikritisi
secara ilmiah agar tidak menimbulkan kekacauan pemahaman di tengah umat.
Menjaga akidah adalah kewajiban utama, dan toleransi sejati tidak pernah
menuntut pengorbanan prinsip tauhid.
Lembang, 01 Rajab 1447 H/ 21 Desember
2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar