| KHALIFAH UMAR BIN KHATHTHAB |
*INSPIRASI
PENANGANAN BENCANA PADA ERA KHALIFAH UMAR BIN KHATHTHAB*
Artikel Terbaru Ke - 242
Oleh : Ahmad Wandi, M.Pd (ahmadwandilembang.com)
Banjir besar yang melanda berbagai wilayah di
Sumatera bukan sekadar peristiwa alam yang bersifat lokal, melainkan telah
menjelma menjadi krisis kemanusiaan yang berdampak luas dan sistemik. Genangan
air yang berlangsung lama telah melumpuhkan aktivitas ekonomi, merusak ribuan
hektare lahan pertanian, memutus jalur distribusi logistik, serta mengancam
ketahanan pangan masyarakat. Dalam konteks ini, banjir tersebut semestinya
diposisikan sebagai bencana nasional, karena dampaknya tidak hanya dirasakan
oleh satu daerah, tetapi memengaruhi stabilitas sosial, ekonomi, dan pangan
secara lintas wilayah. Ketika produksi pangan terganggu dan pasokan terhambat,
maka risiko kelaparan dan kemiskinan ekstrem tidak lagi menjadi ancaman lokal,
melainkan masalah nasional yang membutuhkan penanganan terpusat dan
terkoordinasi.
Islam memandang keselamatan jiwa dan keberlangsungan hidup manusia sebagai tujuan utama syariat (maqāṣid asy-syarī‘ah). Oleh karena itu, setiap kondisi yang mengancam kehidupan masyarakat secara luas menuntut kehadiran negara secara maksimal. Dalam sejarah Islam, teladan paling jelas dapat dilihat pada kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallāhu ‘anhu ketika umat Islam menghadapi krisis besar pada peristiwa Tahun Ramādah. Pada masa itu, kekeringan panjang dan kelaparan melanda Jazirah Arab sekitar tahun 18 Hijriah. Ibn Katsir menggambarkan bahwa bumi menghitam karena debu dan manusia hidup dalam penderitaan luar biasa (Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, Juz 7).
Krisis ini menuntut kepemimpinan yang tidak hanya sabar secara spiritual, tetapi juga tegas dan cepat dalam kebijakan.
Umar bin Khaththab tidak menunda-nunda respon. Ia segera mengambil alih kendali penuh penanganan krisis, bahkan menjadikan penderitaan rakyat sebagai penderitaan pribadinya. Diriwayatkan bahwa Umar bersumpah tidak akan memakan daging dan lemak hingga rakyatnya kembali kenyang. Ketika perutnya berbunyi karena lapar, ia berkata, “Berbunyi atau tidak, demi Allah engkau tidak akan merasakan lemak hingga kaum muslimin kenyang” (Ibn Sa‘d, Ṭabaqāt al-Kubrā).
Sikap ini merupakan manifestasi nyata dari sabda Nabi
Muhammad ﷺ: «الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ» “Pemimpin adalah penggembala dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Keteladanan Umar memberikan pesan kuat bagi kondisi Indonesia hari ini. Ketika banjir di Sumatera telah menimbulkan dampak yang luas dan berkepanjangan, maka pemerintah seharusnya bergerak cepat, tidak terjebak pada prosedur birokratis yang lamban. Kecepatan dalam menetapkan status bencana nasional akan membuka ruang mobilisasi sumber daya yang lebih besar, mempercepat distribusi bantuan, serta memungkinkan sinergi lintas kementerian dan lembaga secara lebih efektif.
Dalam perspektif Islam, menunda bantuan padahal kemampuan tersedia merupakan bentuk kelalaian terhadap amanah. Allah Ta‘ala berfirman: إِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak” (QS. an-Nisā’: 58).
Lebih jauh, penanganan bencana tidak cukup dengan bantuan yang bersifat sporadis dan simbolik. Umar bin Khaththab menunjukkan bahwa krisis harus ditangani dengan langkah strategis, konkret, dan terorganisir. Ia mengirimkan instruksi resmi kepada para gubernur di wilayah yang masih memiliki cadangan pangan, seperti Mesir, Syam, dan Irak, agar segera mengirimkan bantuan makanan ke pusat krisis. Amr bin Ash mengirimkan kapal-kapal bermuatan gandum dari Mesir, sementara wilayah lain mengirimkan bantuan melalui jalur darat dengan pengawalan yang terkoordinasi.
Langkah ini mencerminkan pentingnya sistem logistik nasional yang terintegrasi, sebagaimana prinsip Al-Qur’an: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan” (QS. al-Mā’idah: 2).
Dalam konteks Indonesia, langkah strategis tersebut
dapat diwujudkan melalui penguatan cadangan pangan nasional, pembukaan jalur
distribusi darurat, pendataan kelompok rentan secara akurat, serta penempatan
negara sebagai penanggung jawab utama keselamatan rakyat. Bahkan, sebagaimana
Umar membuka bantuan lintas wilayah kekuasaan Islam, pemerintah juga perlu
membuka ruang kerja sama internasional, baik melalui lembaga kemanusiaan global
maupun negara sahabat, selama hal tersebut ditujukan untuk menyelamatkan jiwa
manusia. Prinsip ini sejalan dengan kaidah fiqih: “Menolak kerusakan
didahulukan daripada menarik kemaslahatan” (درء
المفاسد مقدم على جلب المصالح).
Di samping ikhtiar kebijakan dan logistik, Umar
juga menegaskan pentingnya pendekatan spiritual dalam menghadapi bencana. Ia
mengajak masyarakat untuk memperbanyak istighfar dan taubat, serta melaksanakan
shalat istisqa’. Diriwayatkan bahwa Umar bertawassul kepada Allah dengan doa
al-‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata, “Ya Allah, dahulu kami
bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, dan Engkau menurunkan hujan kepada kami.
Kini kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan
kepada kami” (HR. al-Bukhari no. 1010). Pendekatan ini menunjukkan keseimbangan
antara usaha rasional dan ketundukan spiritual, dua hal yang harus berjalan
beriringan.
Al-Qur’an mengingatkan bahwa musibah juga menjadi
sarana evaluasi moral bagi manusia. Allah Ta‘ala berfirman: وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Musibah apa pun yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan tangan kalian
sendiri” (QS. asy-Syūrā: 30). Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan bahwa
dosa-dosa merupakan sebab terbesar datangnya berbagai musibah pada individu dan
masyarakat (Al-Jawāb al-Kāfī, hlm. 45). Namun muhasabah ini tidak boleh
melahirkan sikap pasif, melainkan harus mendorong perbaikan sistem, keadilan
kebijakan, dan kepedulian sosial yang lebih luas.
Banjir dan ancaman kelaparan di Sumatera seharusnya
menjadi momentum nasional untuk menegaskan kembali peran negara sebagai
pelindung rakyat, serta peran umat sebagai komunitas yang saling menolong.
Teladan Umar bin Khaththab mengajarkan bahwa bencana harus dijawab dengan
kepemimpinan yang hadir, kebijakan yang cepat, dan langkah yang terorganisir,
baik di tingkat nasional maupun internasional. Jika nilai-nilai ini dihidupkan,
maka musibah tidak hanya akan berakhir dengan bantuan darurat, tetapi juga
melahirkan tata kelola kebencanaan yang lebih adil dan beradab. Semoga Allah
Ta‘ala melindungi negeri ini, menguatkan para pemimpinnya dalam menunaikan
amanah, dan mengangkat penderitaan saudara-saudara kita yang tertimpa bencana.
Āmīn.
Lembang, 28 Jumadal Akhirah 1447 H/ 19
Desember 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar