*INSPIRASI PENANGANAN BENCANA PADA ERA KHALIFAH UMAR BIN KHATHTHAB* - Ahmad Wandi Lembang

Terus berkarya, berbagi inspirasi, dan menebar manfaat

Breaking

Jumat, 19 Desember 2025

*INSPIRASI PENANGANAN BENCANA PADA ERA KHALIFAH UMAR BIN KHATHTHAB*

 

KHALIFAH UMAR BIN KHATHTHAB


*INSPIRASI PENANGANAN BENCANA PADA ERA KHALIFAH UMAR BIN KHATHTHAB*

 

Artikel Terbaru Ke - 242

 

Oleh : Ahmad Wandi, M.Pd (ahmadwandilembang.com)

 

Banjir besar yang melanda berbagai wilayah di Sumatera bukan sekadar peristiwa alam yang bersifat lokal, melainkan telah menjelma menjadi krisis kemanusiaan yang berdampak luas dan sistemik. Genangan air yang berlangsung lama telah melumpuhkan aktivitas ekonomi, merusak ribuan hektare lahan pertanian, memutus jalur distribusi logistik, serta mengancam ketahanan pangan masyarakat. Dalam konteks ini, banjir tersebut semestinya diposisikan sebagai bencana nasional, karena dampaknya tidak hanya dirasakan oleh satu daerah, tetapi memengaruhi stabilitas sosial, ekonomi, dan pangan secara lintas wilayah. Ketika produksi pangan terganggu dan pasokan terhambat, maka risiko kelaparan dan kemiskinan ekstrem tidak lagi menjadi ancaman lokal, melainkan masalah nasional yang membutuhkan penanganan terpusat dan terkoordinasi.

 

Islam memandang keselamatan jiwa dan keberlangsungan hidup manusia sebagai tujuan utama syariat (maqāṣid asy-syarī‘ah). Oleh karena itu, setiap kondisi yang mengancam kehidupan masyarakat secara luas menuntut kehadiran negara secara maksimal. Dalam sejarah Islam, teladan paling jelas dapat dilihat pada kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallāhu ‘anhu ketika umat Islam menghadapi krisis besar pada peristiwa Tahun Ramādah. Pada masa itu, kekeringan panjang dan kelaparan melanda Jazirah Arab sekitar tahun 18 Hijriah. Ibn Katsir menggambarkan bahwa bumi menghitam karena debu dan manusia hidup dalam penderitaan luar biasa (Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, Juz 7). 

Krisis ini menuntut kepemimpinan yang tidak hanya sabar secara spiritual, tetapi juga tegas dan cepat dalam kebijakan.

 

Umar bin Khaththab tidak menunda-nunda respon. Ia segera mengambil alih kendali penuh penanganan krisis, bahkan menjadikan penderitaan rakyat sebagai penderitaan pribadinya. Diriwayatkan bahwa Umar bersumpah tidak akan memakan daging dan lemak hingga rakyatnya kembali kenyang. Ketika perutnya berbunyi karena lapar, ia berkata, “Berbunyi atau tidak, demi Allah engkau tidak akan merasakan lemak hingga kaum muslimin kenyang” (Ibn Sa‘d, Ṭabaqāt al-Kubrā). 


Sikap ini merupakan manifestasi nyata dari sabda Nabi Muhammad ﷺ: «الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ» “Pemimpin adalah penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

 

Keteladanan Umar memberikan pesan kuat bagi kondisi Indonesia hari ini. Ketika banjir di Sumatera telah menimbulkan dampak yang luas dan berkepanjangan, maka pemerintah seharusnya bergerak cepat, tidak terjebak pada prosedur birokratis yang lamban. Kecepatan dalam menetapkan status bencana nasional akan membuka ruang mobilisasi sumber daya yang lebih besar, mempercepat distribusi bantuan, serta memungkinkan sinergi lintas kementerian dan lembaga secara lebih efektif. 

Dalam perspektif Islam, menunda bantuan padahal kemampuan tersedia merupakan bentuk kelalaian terhadap amanah. Allah Ta‘ala berfirman: إِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak” (QS. an-Nisā’: 58).

 

Lebih jauh, penanganan bencana tidak cukup dengan bantuan yang bersifat sporadis dan simbolik. Umar bin Khaththab menunjukkan bahwa krisis harus ditangani dengan langkah strategis, konkret, dan terorganisir. Ia mengirimkan instruksi resmi kepada para gubernur di wilayah yang masih memiliki cadangan pangan, seperti Mesir, Syam, dan Irak, agar segera mengirimkan bantuan makanan ke pusat krisis. Amr bin Ash mengirimkan kapal-kapal bermuatan gandum dari Mesir, sementara wilayah lain mengirimkan bantuan melalui jalur darat dengan pengawalan yang terkoordinasi. 


Langkah ini mencerminkan pentingnya sistem logistik nasional yang terintegrasi, sebagaimana prinsip Al-Qur’an: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan” (QS. al-Mā’idah: 2).

 

Dalam konteks Indonesia, langkah strategis tersebut dapat diwujudkan melalui penguatan cadangan pangan nasional, pembukaan jalur distribusi darurat, pendataan kelompok rentan secara akurat, serta penempatan negara sebagai penanggung jawab utama keselamatan rakyat. Bahkan, sebagaimana Umar membuka bantuan lintas wilayah kekuasaan Islam, pemerintah juga perlu membuka ruang kerja sama internasional, baik melalui lembaga kemanusiaan global maupun negara sahabat, selama hal tersebut ditujukan untuk menyelamatkan jiwa manusia. Prinsip ini sejalan dengan kaidah fiqih: “Menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan” (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح).

 

Di samping ikhtiar kebijakan dan logistik, Umar juga menegaskan pentingnya pendekatan spiritual dalam menghadapi bencana. Ia mengajak masyarakat untuk memperbanyak istighfar dan taubat, serta melaksanakan shalat istisqa’. Diriwayatkan bahwa Umar bertawassul kepada Allah dengan doa al-‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata, “Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, dan Engkau menurunkan hujan kepada kami. Kini kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami” (HR. al-Bukhari no. 1010). Pendekatan ini menunjukkan keseimbangan antara usaha rasional dan ketundukan spiritual, dua hal yang harus berjalan beriringan.

 

Al-Qur’an mengingatkan bahwa musibah juga menjadi sarana evaluasi moral bagi manusia. Allah Ta‘ala berfirman: وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ “Musibah apa pun yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan tangan kalian sendiri” (QS. asy-Syūrā: 30). Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan bahwa dosa-dosa merupakan sebab terbesar datangnya berbagai musibah pada individu dan masyarakat (Al-Jawāb al-Kāfī, hlm. 45). Namun muhasabah ini tidak boleh melahirkan sikap pasif, melainkan harus mendorong perbaikan sistem, keadilan kebijakan, dan kepedulian sosial yang lebih luas.

 

Banjir dan ancaman kelaparan di Sumatera seharusnya menjadi momentum nasional untuk menegaskan kembali peran negara sebagai pelindung rakyat, serta peran umat sebagai komunitas yang saling menolong. Teladan Umar bin Khaththab mengajarkan bahwa bencana harus dijawab dengan kepemimpinan yang hadir, kebijakan yang cepat, dan langkah yang terorganisir, baik di tingkat nasional maupun internasional. Jika nilai-nilai ini dihidupkan, maka musibah tidak hanya akan berakhir dengan bantuan darurat, tetapi juga melahirkan tata kelola kebencanaan yang lebih adil dan beradab. Semoga Allah Ta‘ala melindungi negeri ini, menguatkan para pemimpinnya dalam menunaikan amanah, dan mengangkat penderitaan saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Āmīn.

 

Lembang, 28 Jumadal Akhirah 1447 H/ 19 Desember 2025

 

@ Ahmad Wandi Lembang

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ARTIKEL SEBELUMNYA

ASAL USUL SEJARAH PERAYAAN NATAL BERSAMA

  MENCAMPURADUKKAN HAQ DAN BATIL (PIXSABAY) ASAL USUL SEJARAH PERAYAAN NATAL BERSAMA   Artikel Terbaru Ke - 245   Oleh : Ahmad Wandi...