GURU TERLUKA LAGI: DARI MENTERI KEUANGAN KE MENTERI AGAMA - Ahmad Wandi Lembang

Terus berkarya, berbagi inspirasi, dan menebar manfaat

Breaking

Jumat, 05 September 2025

GURU TERLUKA LAGI: DARI MENTERI KEUANGAN KE MENTERI AGAMA

 

GURU TERLUKA LAGI: DARI MENTERI KEUANGAN KE MENTERI AGAMA
GURU SAKIT HATI LAGI (GAMBAR: PIXABAY)


GURU TERLUKA LAGI: DARI MENTERI KEUANGAN KE MENTERI AGAMA

 

Artikel Terbaru Ke - 240

 

Oleh : Ahmad Wandi, M.Pd (ahmadwandilembang.com)

 

Guru adalah sosok yang seharusnya paling dihormati dalam sebuah bangsa. Dari tangan gurulah lahir generasi yang cerdas, bermoral, dan berkarakter. Namun, akhir-akhir ini, publik kembali menyaksikan bagaimana hati para guru tersakiti oleh pernyataan-pernyataan dari pejabat tinggi negara. Belum lama, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut guru sebagai “beban” dalam konteks anggaran negara. Kini, luka itu seakan diulang kembali oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar yang dalam sebuah forum menyatakan, “Kalau mau cari uang, jangan jadi guru, jadilah pedagang.”

 

Meski pernyataan tersebut akhirnya diklarifikasi dan disertai permintaan maaf, dampaknya telanjur menorehkan luka psikologis di hati para pendidik. Guru merasa diremehkan, seolah profesi mulia mereka tidak pantas diperjuangkan kesejahteraannya. Fenomena ini membuat publik bertanya: mengapa pejabat publik begitu mudah meremehkan guru, sementara mereka sendiri berdiri di kursi kekuasaan karena jasa guru?

 

Guru dan Luka Kolektif

 

Pernyataan Sri Mulyani beberapa waktu lalu tentang guru sebagai “beban negara” masih segar di ingatan. Para pendidik marah, bukan karena menolak realitas anggaran, tetapi karena diksi “beban” itu begitu merendahkan. Guru adalah ujung tombak pendidikan. Menyebut mereka sebagai beban sama saja dengan menganggap masa depan bangsa ini beban.

 

Belum selesai luka itu sembuh, pernyataan Nasaruddin Umar menambah garam di atas luka. Meski konteksnya dimaksudkan sebagai motivasi agar guru ikhlas, kalimat yang diucapkan di ruang publik selalu memiliki dampak luas. Guru mendengar seakan-akan negara hanya menginginkan mereka bekerja dengan ikhlas, tanpa hak untuk memperjuangkan kesejahteraan. Padahal, kesejahteraan guru bukan hanya soal gaji, melainkan juga soal penghargaan, martabat, dan keadilan.

 

Pentingnya Menjaga Marwah Guru

 

Dalam budaya kita, guru ditempatkan pada posisi terhormat. Ungkapan “guru, digugu dan ditiru” menunjukkan betapa besar wibawa seorang pendidik. Dalam tradisi Islam pun, guru (ulama, mu’allim, mudarris) mendapatkan kedudukan tinggi. Rasulullah ï·º bersabda:

 

Ø®َÙŠْرُÙƒُÙ…ْ Ù…َÙ†ْ تَعَÙ„َّÙ…َ الْÙ‚ُرْآنَ ÙˆَعَÙ„َّÙ…َÙ‡ُ


"Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya." (HR. al-Bukhari).

 

Hadis ini mengisyaratkan bahwa pengajar (guru) memiliki posisi terhormat dalam Islam. Bahkan, Imam al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulumuddin, bahwa guru adalah pewaris tugas para nabi, karena misi nabi adalah mendidik umat manusia dengan ilmu dan akhlak.

 

Jika marwah guru diruntuhkan dengan kata-kata yang menyepelekan, apa yang akan terjadi? Generasi baru kehilangan teladan untuk menghormati guru. Padahal, salah satu faktor runtuhnya moral generasi muda adalah ketika mereka tidak lagi memandang guru sebagai figur yang patut dihormati.

 

Negara Maju Menghormati Guru

 

Bila kita menoleh ke negara-negara maju, satu kesamaan akan kita dapati: mereka sangat memperhatikan kesejahteraan guru.

 

  • Jepang menempatkan guru setara dengan pegawai negeri berpangkat tinggi, dengan gaji yang layak dan penghormatan sosial luar biasa. Di sana, guru dianggap pembangun karakter bangsa pasca kehancuran Perang Dunia II.

 

  • Finlandia menjadikan profesi guru sangat eksklusif; tidak semua orang bisa jadi guru karena syarat akademiknya tinggi, tetapi begitu menjadi guru, kesejahteraan dan kehormatan sosialnya dijaga negara.

 

  • Korea Selatan dikenal dengan ungkapan, “Seandainya engkau bertemu guru dan raja, maka dahulukanlah guru.” Itu menunjukkan betapa guru dipandang sebagai pembentuk bangsa, bahkan lebih tinggi daripada penguasa.

 

Jika bangsa-bangsa maju saja menyadari pentingnya guru, mengapa Indonesia justru masih memperlakukan guru seolah profesi nomor dua? Bukankah kita juga ingin maju?

 

Ulama dan Guru dalam Sejarah Islam

 

Dalam sejarah Islam, para khalifah dan penguasa memberikan perhatian besar kepada ulama, yang pada hakikatnya adalah guru umat.

 

  • Khalifah Harun ar-Rasyid, misalnya, pernah berkata bahwa ia rela menyerahkan putranya dididik oleh seorang ulama meski harus patuh sepenuhnya. Baginya, ulama/guru lebih mulia daripada raja dalam mendidik generasi penerus.

 

  • Sultan Salahuddin al-Ayyubi sangat menghormati para guru dan ulama, karena ia sadar bahwa kekuatan umat Islam bukan hanya pada pedang, tetapi juga pada ilmu dan pendidikan.

 

Perhatian besar ini membuktikan bahwa kejayaan peradaban Islam lahir dari pengakuan terhadap peran guru. Maka, mengerdilkan guru sama dengan melemahkan fondasi peradaban.

 

Luka yang Bisa Jadi Bom Waktu

 

Mengapa pernyataan pejabat publik tentang guru bisa begitu menyakitkan? Karena guru sudah lama merasa diperlakukan tidak adil.

 

Banyak guru honorer yang gajinya masih jauh dari layak, bahkan ada yang hanya mendapat Rp300 ribu per bulan. Mereka tetap mengajar dengan ikhlas, tetapi bukan berarti mereka tidak berhak diperjuangkan. Saat pejabat negara bergaji puluhan hingga ratusan juta per bulan, sementara guru diminta ikhlas tanpa penghargaan, wajar bila publik marah.

 

Luka semacam ini bila dibiarkan, bisa menjadi bom waktu. Guru yang kehilangan martabat akan mengajar tanpa semangat. Generasi muda pun bisa kehilangan arah karena gurunya tidak lagi dihargai. Padahal, bangsa tanpa guru yang kuat sama saja dengan bangsa tanpa masa depan.

 

Saatnya Negara Mengambil Sikap

 

Sudah cukup guru tersakiti oleh kata-kata. Negara harus segera mengambil sikap tegas: memperhatikan kesejahteraan guru, menaikkan standar penghargaan, dan menegaskan bahwa guru bukan beban, melainkan aset.

 

Kita tidak anti kritik terhadap guru, karena setiap profesi bisa dikritik. Namun kritik harus konstruktif, dengan empati dan penghargaan. Bukan dengan kalimat yang merendahkan, apalagi keluar dari mulut pejabat publik.

 

Indonesia memiliki cita-cita besar menjadi bangsa maju. Itu mustahil tercapai tanpa guru yang kuat dan sejahtera. Oleh karena itu, setiap pejabat negara harus menjaga lisan, menghormati profesi guru, dan memastikan kebijakan berpihak kepada mereka.

 

Penutup

 

Guru kembali tersakiti: dari pernyataan Sri Mulyani hingga Nasaruddin Umar. Meskipun telah ada klarifikasi dan permintaan maaf, luka itu masih terasa. Guru bukan beban, bukan pula profesi yang hanya diminta ikhlas tanpa penghargaan. Guru adalah cahaya bangsa, pelita peradaban, dan penjaga moral.

 

Sejarah, baik dalam Islam maupun di negara maju, telah membuktikan: bangsa besar lahir dari penghormatan terhadap guru. Maka, bila Indonesia ingin maju, hormatilah guru, muliakan guru, dan sejahterakan guru. Sebab, tanpa guru, bahkan pejabat sekalipun hanyalah “murid yang tersesat.”

 

Lembang, 12 Rabiul Awal 1447 H/ 05 September 2025

 

@ Ahmad Wandi Lembang

 

@ SDIT Istiqomah Lembang

 

Artikel ahmadwandilembang.com

 

=========

Dapatkan update artikel islam setiap harinya dari ahmadwandi.blogspot.com. Mari bergabung di WhatsApp "Kajian AWAL Official", caranya klik link https://bit.ly/Awalofficial, silahkan sebarkan, semoga bermanfaat.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ARTIKEL SEBELUMNYA

TRAGEDI BANJARAN: REFLEKSI IMAN DARI LUKA YANG MENDALAM

  BUNUH DIRI (GAMBAR: PIXABAY) TRAGEDI BANJARAN: REFLEKSI IMAN DARI LUKA YANG MENDALAM   Artikel Terbaru Ke - 241   Oleh : Ahmad Wan...