MENYIKAPI POLEMIK HUKUM MUSIK - Ahmad Wandi Lembang

Terus berkarya, berbagi inspirasi, dan menebar manfaat

Breaking

Jumat, 17 Mei 2024

MENYIKAPI POLEMIK HUKUM MUSIK

 

MENYIKAPI POLEMIK HUKUM MUSIK
MENYIKAPI POLEMIK HUKUM MUSIK (GAMBAR: PIXABAY)


 

Artikel terbaru ke 209

 

Oleh : Ahmad Wandi, M.Pd (ahmadwandilembang.com)

 


Musik  adalah nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung ritme, lagu, dan keharmonisan. Musik terdiri dari beberapa unsur, yaitu melodi, harmoni, ritme, dan timbre. Musik termasuk sejenis fenomena intuisi, untuk mencipta, memperbaiki, dan mempersembahkannya dalam suatu bentuk seni. Musik adalah sebuah fenomena unik yang dihasilkan oleh beberapa alat musik.

 

Musik dalam hokum islam masuk urusan muamalah atau keduniaan. Dalam sebuah qaidah disebutkan, pokok asal dalam urusan keduniaan adalah boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya.

 

Sepanjang pengetahuan penulis, dalil yang dijadikan pijakan hokum musik ini jumlahnya sangat banyak, sehingga para ulama pun berbeda pendapat dalam menyikapi dan menetapkan hukumnya. Sebagian mengharamkan dan sebagain lagi membolehkan. Sebagian lagi ada yang merincinya, ada musik yang diharamkan dan ada musik yang diperbolehkan.

 

Dalil utama yang mengharamkan antara lain:

 

وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَها هُزُواً أُولئِكَ لَهُمْ عَذابٌ مُهِينٌ

 

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan”. (QS. Luqman: 6)

 

Ibnu Mas'ud radiyallahu ‘anhu dalam menafsirkan lahwal hadits dalam ayat ini berkata: "Demi Allah yang tiada tuhan selainNya, yang dimaksudkan adalah lagu". Pendapat ini diikuti oleh ulama yang lain.

 

Dalil pengharaman dari hadis antara lain:

 

لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

 

Akan ada dari umatku kaum yang menghalalkan zina dan sutera, khamr dan alat musik.” (HR. al-Bukhari no. 5590)

 

Dengan digandengkannya musik dengan zina dan sutera, maka menunjukkan bahwa musik hukumnya haram seperti zina dan sutera. Kata Syekh al-Albani, “Dalam hadis tersebut alat-alat musik dikaitkan dengan khamr dari sisi keharamannya.” (lihat, Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah)

 

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Dari sisi pendalilan dari hadis ini bahwa alat musik ini adalah alat-alat yang melalaikan semuanya, tidak ada perselisihan di antara ahli bahasa tentang hal itu. Andaikata nyanyian itu halal maka Rasulullah saw. tidak akan mencela orang yang menghalalkannya dan tidak pula menyamakannya dengan orang yang menghalalkan khamr. (Lihat, Ighaatsatul Lahfan 1/291)

 

Menurut pihak yang membolehkan, ayat dan hadis tersebut sebenarnya tidak menunjukkan keharaman musik secara mutlak. Dalil tersebut tidak sharih (jelas) menunjukkan haramnya musik. Apalagi dibuktikan dengan banyaknya dalil lain yang menunjukkan kebolehan musik.

 

Terkait tafsir surat Luqman ayat 6, Kata Lahwa al-Hadits tidak dapat diartikan dengan musik atau nyanyian. Seandainya kata tersebut dipaksakan artinya “nyanyian”, maka yang dikecam oleh Allah taala adalah nyanyian yang digunakan sebagai alat untuk menyesatkan manusia. Jadi, bukan terletak pada nyanyian atau bukan nyanyian, tetapi isi dari nyanyiannya menyesatkan atau tidak.

 

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan: “Apabila Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud menafsirkan kata lahwa al-hadits dengan makna nyanyian, maka sesungguhnya teks ayat itu sendiri-dalam hal ini li yudilla ’an sabilillah (untuk menyesatkan dari jalan Allah) telah menentang penafsiran tersebut”.

 

Ibnu Hazm Rahimahullah telah membantah mereka yang menggunakan surat Lukman ayat 6 ini sebagai dasar pengharaman musik. Beliau berkata, “Nash ayat tersebut membatalkan argumentasi mereka sendiri, karena dalam ayat tersebut “Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan”, ini menunjukkan bahwa yang melakukannya adalah orang kafir, tanpa ikhtilaf jika menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Inilah yang dicela oleh Allah swt.

 

Sedangkan orang yang menggunakan perkataan yang sia-sia untuk tujuan hiburan atau menenangkan dirinya bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tidaklah dicela. Maka terbantahlah pendapat mereka dengan perkataan mereka sendiri. Bahkan jika seseorang melalaikan shalat dengan sengaja dikarenakan bacaan Al Quran atau membaca hadis atau dengan obrolan dan lagu sama saja termasuk kefasikan dan dosa kepada Allah. Tetapi siapa yang tidak melalaikan kewajiban sebagaimana yang kami sebutkan maka tetap merupakan kebaikan” (lihat, Al-Muhalla  9/10)

 

Dilihat dari konteks turunnya, ayat tersebut sebenarnya ditujukan kepada orang-orang kafir. Ini dapat dilihat dari kelanjutan ayat tersebut, surat Luqman ayat 7: “Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia tidak mendengarnya. Seakan-akan ada penghalang di kedua telinganya, maka berikan kabar gembira padanya dengan azab yang pedih”.

 

Jadi jelas sekali bahwa yang berpaling dengan menyombongkan diri ketika dibacakan ayat-ayat Allah adalah orang kafir, bukan penyanyi atau pemusik yang beriman.

 

Imam Ibnu Jarir al-Thabary Rahimahullah menegaskan dari Ibnu Wahab yang berkata, “Ibnu Zaid mengatakan bahwa (Luqman:6), “Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna”, maksudnya adalah orang-orang kafir. (Lihat, Tafsir al-Thabary 1/41)

 

Pendapat ini juga dikemukakan Ibnu Athiyyah Rahimahullah yang mengatakan bahwa yang rajih atau lebih kuat adalah ayat yang diturunkan tentang lahwal hadis ini untuk orang-orang kafir, karenanya ungkapan tersebut sangat keras yaitu “untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dengan menggunakannya sebagai olok-olokan” dan disertai dengan ancaman siksaan yang sangat hina. (Lihat, Tafsir Ibnu Athiyyah11/484)

 

Kesimpulan surat Luqman ayat 6 adalah lebih tepat ditujukan untuk orang-orang kafir yang ingin menyesatkan manusia dari jalan Allah dengan perkataan yang tidak berguna. Jadi Ayat ini tidak benar dijadikan dasar pengharaman musik dan lagu secara mutlak.

 

Kemudian terkait hadis al-Bukhari, “Akan ada dari umatku kaum yang menghalalkan zina dan sutera, khamr dan alat musik.”. Imam al-Bukhari sebagai periwayat hadis tersebut menempatkan hadis ini dalam bab: Bab keterangan tentang Orang Yang Menghalalkan Khamr dan menamainya Bukan dengan namanya.

 

Imam al-Bukhari sebagai ahli hadis dan ahli fiqih tidak sedikitpun menyebutkan tentang pengharaman musik dan lagu. Andaikata hadis ini hendak dihubungkan dengan masalah musik dan lagu, maka dilalah (petunjuk) yang paling tepat digunakan adalah musik dan lagu haram jika diiringi dengan perbuatan maksiat (misalnya tarian seronok) apalagi disertai dengan minuman khamr.

 

Pemahaman tersebut diperoleh melalui perbandingan dengan riwayat al-Bukhari pula dari sahabat yang sama (Abi Malik Al-Asy'ari):

 

لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا تَغْدُو عَلَيْهِمِ الْقِيَانُ وَ تَرُوحُ عَلَيْهِمِ الْمَعَازِفُ

 

"Segolongan dari umatku akan minum khamr dan mereka menamainya bukan dengan namanya, mereka akan didatangi oleh para penyanyi wanita keliling beserta pemain musik dengan alat-alat instrumentalnya." HR. al-Bukhari dalam at-Tarikhul Kabir, juga riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah (Lihat, Fathul Bari, 10/55)

 

Dalam riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah disebutkan:

 

لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلى رُؤُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَ الْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَ يَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَ الْخَنَازِيرَ

 

"Sekelompok dari umatku akan minum khamr dan menyebutnya dengan nama (baru) selain nama khamr. Para pemusik bersama penyanyi wanita akan melakukan pertunjukan di hadapan mereka. Kemudian mereka akan dilenyapkan ke dalam tanah dan dijadikan sebagian dari mereka dalam bentuk kera dan babi." (HR. Abu Dawud 3688, Ibnu Majah 4020)

 

Hadis tersebut di atas saling menjelaskan dan melengkapi bahwa musik menjadi haram hukumnya ketika disertai dengan hal-hal yang hukumnya haram seperti khamer, penyanyi wanita, dan sebagainya. Dalam hal ini kita dilarang mendengarkannya atau berada di tempat-tempat pertunjukkan seperti itu, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya.

 

Sebenarnya masih banyak ayat dan hadis yang sering dijadikan dalil pengharaman musik ini, disertai perbedaan sudut pandang dari para ulama yang cukup panjaNg. Namun karena keterbatasan ruangan di sini, cukup dua dalil di atas untuk mewakilinya.

Apakah benar ulama madzhab yang empat mengharamkan musik? Jawabannya, benar ada pernyataan seperti itu dalam penjelasan para ulama. Seperti Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah  mengatakan:

 

فَأَمَّا الْمُشْتَمِلُ عَلَى الشَّبَّابَاتِ وَالدُّفُوفِ المصلصلة فَمَذْهَبُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ تَحْرِيمُهُ.

 

Ada pun musik yang mencakup klarinet dan rebana maka madzhab imam yang empat mengharamkannya. (Majmu’ Al-Fatawa, 11/535)

 

Namun, perlu diketahui bahwa didapatkan pula dalam keterangan lain yang lebih dari satu sumber. Bahwa tidak benar semua imam ini mengharamkan musik.

 

Imam Abu Hanifah Rahimahullah  contohnya. Dalam madzhab Hanafi pengharaman musik dikenal sangat keras. Tapi, Imam Abu Hanifah sendiri tidak seperti itu. Beliau tidak menganggap alat-alat musik adalah haram, hal itu bisa terlihat keterangan Imam Al-Kasani Al-Hanafiy berikut ini:

 

وَيَجُوزُ بَيْعُ آلَاتِ الْمَلَاهِي مِنْ الْبَرْبَطِ، وَالطَّبْلِ، وَالْمِزْمَارِ، وَالدُّفِّ، وَنَحْوِ ذَلِكَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ

 

Dibolehkan menjual alat-alat musik seperti Al Barbath, gendang, seruling, rebana, dan lainnya, menurut Imam Abu Hanifah. (Bada’i Ash Shana’i, 5/144)

 

Para ahli bahasa menjelaskan Al-Barbath adalah alat musik orang ‘ajam (non Arab), yang ter-Arabkan. (Tahdzibul Lughah, 14/42). Ada juga yang menyebut ‘Uud (kecapi), dan itu adalah bahasa Persia. (Mafatih Al-‘Ulum, 1/260). Ada juga yang menyebut alat musik menyerupai kecapi, berasal dari Persia yang ter-Arabkan. (al-Nihayah fi Gharibil Hadits, 1/112)

 

Tentunya hanya benda-benda halal yang boleh diperjualbelikan, maka ketika alat-alat musik dibolehkan diperjualbelikan menurut Imam Abu Hanifah, itu mengisyaratkan begitulah pendapat Imam Abu Hanifah tentang musik.

 

Hal ini dipertegas lagi dalam keterangan berikut ini:

 

وذهب بعض الفقهاء إلى إباحتها إذا لم يلابسها محرم، فيكون بيعها عند هؤلاء مباحا. والتفصيل في مصطلح (معازف) .ومذهب أبي حنيفة - خلافا لصاحبيه - أنه يصح بيع آلات اللهو كله

 

Sebagian ahli fiqih berpendapat, bolehnya menjual alat-alat musik bila tidak dicampuri dengan hal-hal yang haram, maka menjual hal tersebut bagi mereka mubah. Rinciannya terdapat dalam pembahasan Al Ma’azif.  Imam Abu Hanifah berpendapat –berbeda dengan dua sahabatnya- bahwa sah memperjualbelikan alat-alat musik seluruhnya. (Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah, 9/157)     

 

Kemudian, Imam Malik Rahimahullah, didapatkan keterangan bahwa Beliau membolehkan mendengarkan nyanyian walau dengan iringan musik. Bahkan ini juga pendapat segolongan sahabat Nabi .

 

Imam al-Syaukani Rahimahullah mengatakan:

 

وَحَكَى الرُّويَانِيُّ عَنْ الْقَفَّالِ أَنَّ مَذْهَبَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ إبَاحَةُ الْغِنَاءِ بِالْمَعَازِفِ. وَحَكَى الْأُسْتَاذُ أَبُو مَنْصُورٍ وَالْفُورَانِيُّ عَنْ مَالِكٍ جَوَازَ الْعُودِ.

 

Ar Ruyani meriwayatkan dari Al Qaffal, bahwa madzhab-nya Imam Malik bin Anas membolehkan bernyanyi dengan menggunakan alat musik (Al Ma’azif). Al Ustadz Abu Manshur Al Furani  menceritakan bahwa Imam Malik membolehkan kecapi (Al ‘Uud). (Nailul Authar, 8/113)

 

Syaikh Wahbah Al-Zuhailiy Rahimahullah mengatakan, “Imam Malik, golongan zhahiriyah, dan segolongan sufi, membolehkan mendengarkan nyanyian walau pun dengan kecapi dan klarinet. Itu adalah pendapat segolongan sahabat nabi seperti Ibnu Umar, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Az Zubeir, Mu’awiyah, Amr bin Al ‘Ash, dan selain mereka, dan segolongan tabi’in seperti Sa’id bin Al Musayyib.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/2665)

 

Khadimus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan bahwa telah shahih dalilnya banyak para sahabat nabi dan tabi’in pernah mendengarkan nyanyian dan memainkan musik.  (Fiqhus Sunnah, 3/57-58)

 

Terlepas bagaimana pendapat ulama mazhab yang empat dalam menetapkan hokum musik ini, yang jelas yang jadi pijakan kita adalah sejauh mana kekuatan dalil yang menjadi hujjahnya. Bukan semata pendapatnya.

 

Imam Al-Fakihani Rahimahullah mengatakan:

 

لَمْ أَعْلَمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا فِي السُّنَّةِ حَدِيثًا صَحِيحًا صَرِيحًا فِي تَحْرِيمِ الْمَلَاهِي

 

Tidak aku ketahui dalam Kitabullah dan Sunnah, tentang  hadits yang shahih  dan lugas tentang pengharaman  musik. (Nailul Authar, 8/117)

 

Hal serupa dikatakan oleh Imam Ibnu al-'Arabiy Al-Maliki Rahimahullah, bahwa menurutnya  tak ada di dalam Al Quran dan As Sunnah tentang pengharaman lagu dan musik. (Ahkamul Quran,  3/1053)

 

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka kita tidak bisa menyamaratakan semua musik itu haram atau mubah, karena terdapat dalil-dalil yang membolehkannya di samping dalil yang mengharamkannya dalam keadaan dan kondisi tertentu.

 

Kesimpulannya, musik yang haram adalah musik yang disertai dengan perbuatan haram atau mungkar, semisal minuman khamr, menampilkan aurat wanita, atau nyanyiannya berisi sya'ir yang bertentangan dengan aqidah atau melanggar etika kesopanan Islam.

 

Adapun musik atau nyanyian yang diperbolehkan adalah semua jenis nyanyian yang secara konten (materi) tidak termasuk yang diharamkan di atas. Tidak juga diadakan di tempat-tempat maksiat, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya, yang di tempat itu wanita dan lelaki bebas bercampur-baur menari bersama.

 

Perbedaan pendapat para ulama dalam masalah musik seperti di atas seharusnya membuat kita lapang dada dan toleran. Bukan bermusuhan dan saling menjatuhkan, apalagi sampai menggelari dengan perkataan buruk, dan menganggap berbeda agama.


Adanya perselisihan dalam persoalan khilafiyah sudah terbiasa di kalangan ahli ilmu, namun mereka menyikapinya dengan bijak dan ilmiah. Sehingga perbedaan melahirkan bertambahnya khazanah keilmuan dan memelihara spirit berijtihad. Bukan sebaliknya, memperkeruh ukhuwah dan mencederai persatuan yang tidak elok dipandang mata. Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

LEMBANG 17 MEI 2024

 


@ Ahmad Wandi Lembang

 

@ SDIT Istiqomah Lembang

 

Artikel ahmadwandilembang.com

 

=========

Dapatkan update artikel islam setiap harinya dari ahmadwandi.blogspot.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kajian AWAL Official", caranya klik link https://t.me/awalofficialcom, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ARTIKEL SEBELUMNYA

GOES TO PANGANDARAN, FAMILY GATHERING 2024

GOES TO PANGANDARAN, FAMILY GATHERING 2024 Artikel Terbaru Ke - 227 Oleh : Ahmad Wandi, M.Pd (ahmadwandilembang.com) Pada hari Senin-Selasa,...