Wakaf secara
etimologi (lughawy) bermakna tahbis atau tasbil, yaitu
menahan atau menghentikan. Sedangkan secara terminologi (syar’i) adalah
membekukan harta yang dapat dimanfaatkan dengan tetapnya wujud dari harta
tersebut, serta tidak mentasharufkan fisik dari harta tersebut. Dalam hal ini,
wakaf bertujuan untuk disalurkan dalam hal kebaikan dan kemaslahatan umum sebagai
bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Ayat yang
menjelaskan tentang wakaf antara lain termaktub di dalam QS. Ali Imran ayat 94:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Ali Imran (3): 94)
Adapun hadis yang
menjelaskan tentang wakaf diantaranya adalah hadis Umar bin Khattab ketika
mewakafkan tanahnya di Khaibar.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَصَبْتُ
أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا
تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ
فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ
وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي
سَبِيلِ اللهِ وَاْبنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا
أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمُ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
“Dari Ibn Umar ra, bahwa Umar bin Khattab mendapatkan bagian tanah di Khaibar, kemudian ia menemui Nabi Muhammad saw untuk meminta arahan. Umar berkata: ‘Wahai Rasulullah saw, aku mendapatkan kekayaan berupa tanah yang sangat bagus, yang belum pernah kudapatkan sebelumnya. Apa yang akan engkau sarankan kepadaku dengan kekayaan itu?’ Nabi bersabda: ‘Jika kamu mau, kau bisa mewakafkan pokoknya dan bersedekah dengannya.’ Lalu Umar menyedekahkan tanahnya dengan persyaratan tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Umar menyedekahkan tanahnya untuk orang-orang fakir, kerabat, untuk memerdekakan budak, sabilillah, ibn sabil, dan tamu. Tidak berdosa bagi orang yang mengurusinya jika mencari atau memberi makan darinya dengan cara yang baik dan tidak menimbun.” (HR. Bukhari no. 2737)
Manfaat wakaf
biasanya akan berkelanjutan, sedangkan sedekah mungkin hanya untuk sekali pakai
atau jangka pendek. Wakaf mesti benda yang tahan lama, tidak mudah hangus atau
rusak, sedangkan sedekah boleh benda apa saja asal bermanfaat. Wakaf memerlukan
pengelola (penjaga dan pengembang), sedangkan sedekah boleh tanpa pengelola.
Peristiwa ini terjadi setelah
pembebasan tanah Khaibar pada tahun ke-7 Hijriyah. Pada masa Umar bin
Khattab menjadi Khalifah, ia mencatat wakafnya dalam akte wakaf dengan
disaksikan oleh para saksi dan mengumumkannya.
Sejak saat itu banyak keluarga Nabi
dan para sahabat yang mewakafkan tanah dan perkebunannya. Sebagaian di
antara mereka ada yang mewakafkan harta untuk keluarga dan kerabatnya, sehingga
muncullah wakaf keluarga (wakaf dzurri atau ahli).
Kemudian wakaf yang telah dilakukan
Umar bin Khattab disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya,
kebun Bairaha. Maka turunlah QS. Ali Imran ayat 94. Ayat inilah yang
membuat Abu Thalhah semangat mewakafkan perkebunannya.
Rasulullah telah menasehatinya agar ia
menjadikan perkebunannya itu untuk keluarga dan keturunannya. Maka Abu Thalhah
mengikuti perintah Rasulullah tersebut, dan di antara keluarga yang mendapat
wakaf dari Abu Thalhah adalah Hassan bin Tsabit.
Para ulama menganggap wakaf sudah dimulai dari contoh yang diberikan Nabi ketika mendirikan Masjid Quba. Beliau membeli tanah seharga seratus dirham dari wali anak yatim Bani Najjar, lalu menyerahkannya untuk pembangunan masjid Quba, sebagai masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah saw.
Rasulullah saw.
pada tahun ketiga hijriyah membeli kebun kurma milik Mukhairiq (di antaranya
kebun A`raf, Shafiyah, Dalal, Barqah) lalu mewakafkannya. Sering disebut
pewakafan tujuh kebun kurma di Madinah. Beliau menyisihkan sebagian keuntungan
dari perkebunan itu untuk kepentingan kaum Muslimin. Kisah ini dijadikan
sebagai kisah wakaf produktif dimana hasil yang di peroleh dari pengelolaan
sebidang tanah perkebunan di pergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
Atas kisah kedua sahabat tersebut maka
semakin banyak sahabat nabi yang bersedia mewakafkan harta yang dimilikinya
untuk kemaslahatan umat yaitu seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang
tanahnya di Makkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke
Makkah.
Sahabat Utsman mewakafkan sumur “Ruman” dan kebunnya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan kebunnya yang subur di Yanbu`. Mu’ad bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar” di Madinah. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah istri Rasulullah SAW.
Kemudian pada
masa Bani Umayyah yang memerintah lebih kurang 100 tahun, banyak sekali
dilakukan wakaf dan mencetak uang sendiri. Di masa ini wakaf diadministrasikan dengan
baik. Pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik, dengan wakaf membangun
lembaga pendidikan dan membayar gaji para guru.
Pada Dinasti
Abbasiyah, Permaisuri Zubaidah, Zubaidah binti Ja’far (istrinya Khalifah Harun
ar-Rosyid), pernah membuat saluran air dengan wakaf, yang airnya diisi pada
musim haji untuk minum jamaah. Dia menghabiskan sekitar 1.500.000 dirham. Jika
kita kalikan 4, jadi senilai 6000 kg emas. Ini diwakafkan oleh permaisuri
Zubaidah pada masanya. Zubaidah juga menghabiskan dana 54 juta dirham untuk
membuat pos yang menghubungkan Irak dengan Mekkah. Dia menggali banyak sumur,
bahkan ratusan sumur. Begitu juga dia mendirikan beberapa masjid dan jembatan.
Ini wakaf paling besar yang tercatat dalam sejarah.
Disnati
Fatimiyyah di Mesir dan Salahuddin Al Ayyubi juga sangat menggalakkan wakaf.
Pajak dan cukai yang dikumpulkan oleh Salahuddin Al Ayyubi diwakafkan. Jadi
Salahuddin menggunakan uang negara lalu diwakafkan. Ini bisa disebut wakaf produktif,
karena orang bisa mengambil manfaat walaupun bukan dalam bentuk uang, tetapi
orang bisa bersekolah dan lain-lain.
Wakaf pada masa
dinasti Mamalik mengembangkan wakaf dengan cara memberi izin untuk mewakafkan
apapun yang dapat diambil manfaatnya. Ini yang mereka lakukan, termasuk budak
yang dulu belum pernah diwakafkan, lalu pada masa dinasti Mamalik budak
diwakafkan untuk mengurus masjid.
Pada masa Bani
Usman bermula wakaf keluarga. Seorang ayah mewakafkan tanahnya untuk
keturunannya sendiri sampai berapa lama ke bawah, lalu pada ujungnya wakaf
keluarga menjadi milik kolektif. Ada satu kampung yang tanahnya dikelola
bersama-sama dan menjadi wakaf keluarga (wakaf ahly), mengalahkan tanah milik
pribadi.
Perkembangan wakaf ini terus berlanjut
hingga masa-masa berikutnya dan telah mencapai puncaknya yang ditandai dengan
meningkatnya jumlah wakaf yang mencapai sepertiga tanah pertanian yang ada di
berbagai Negara Islam seperti di Mesir, Syam, Turki, Andalusia, dan Maroko.
Termasuk dalam daftar kekayaan wakaf pada saat itu adalah perumahan rakyat dan komplek
pertokoan di berbagai ibu kota Negara Islam yang terbentang dari ujung Barat di
Maroko hingga ke ujung Timur di New Delhi dan Lahore.
Semua orang berduyun-duyun untuk
melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin
saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun
perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk
para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah
menarik perhatian Negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sector untuk
membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.
Kalau kita baca riwayat hidup ulama, banyak ulama berasal dari keluarga tidak kaya, ulama tersebut dibiayai dengan harta wakaf, seperti Imam Syafii yang diduga hidup dari hasil harta wakaf. Jadi sepanjang sejarah awal Islam terlihat peran dan fungsi wakaf cukup strategis dan produktif.
Berdasarkam
uraian di atas, dapat kita fahami bersama bahwa wakaf produktif memiliki
peranan yang sangat besar untuk kesuksesan dakwah islam. Untuk mendakwahkan
islam diperlukan dana yang tak terbatas, besar, baik incidental maupun rutin.
Dan hal tersebut bisa diwujudkan melalui wakaf produktif.
Salah satu kelemahan umat islam dalam berdakwah adalah finansial. Da’inya, fasilitasnya, program kegiatannya, dan segala sesuatunya memelukan sokongan dana yang tidak sedikit. Sehingga tidak aneh, kalau pada akhirnya setiap kegiatan tidak berjalan, atau kurang maksimal, itupun hasil menyebarkan proposal kepada para agniya.
Dengan adanya
wakaf produktif, sejarah telah membuktikan, bahwa kebutuhan dana yang tak
terbatas untuk dakwah bisa difasilitasi oleh wakaf produktif. Tentu saja yang
betul-betul produktif, sehingga bisa menjadi sumber dana yang bisa diandalkan
untuk memaksimalkan dakwah islam seperti pada zaman Nabi saw dan para sahabat
sesudahnya yang mampu membawa islam pada masa kejayaan. Wallahu a’lam bi
al-shawwab.
Lembang, 21 Juni 2024
Artikel
ahmadwandilembang.com
=========
Dapatkan update artikel islam setiap
harinya dari ahmadwandi.blogspot.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kajian
AWAL Official", caranya klik link https://t.me/awalofficialcom,
kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar