Oleh : Ahmad Wandi
Mayoritas Umat Islam Indonesia menamakan malam hari raya itu dengan malam Walilat, mungkin berasal dari kata walillahil-hamdu, yang biasanya dibaca bersama-sama dalam bacaan takbir dan terus menerus diulang semalam suntuk menjelang hari raya.
Perbuatan ini mereka lakukan berdasarkan dalil sebagai berikut :
a. Al-Quran Surat Al Baqarah ayat 185, yang berbunyi :
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuknya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.”(QS. Al Baqarah 185).
Maksud ayat di atas, “Sempurnakanlah bilangannya”, maksudnya bilangan hari shaum yang kamu batal padanya, yaitu sempurnakan pada hari-hari lain (di luar ramadhan).”[1]
Pada ayat tersebut, perintah bertakbir tidak dijelaskan (waktunya) kapan dimulainya, ini menunjukkan bahwa tidak mesti (langsung) berurutan setelah menyempurnakan bilangan shaum itu, (kecuAli ada dAlil lain yang memerintahkannya). Apalagi huruf athaf “wau” itu li mutlaqil jam’i (dua hal yang sama-sama terjadi tapi tidak menunjukkan berurutan), beda dengan “tsumma” atau “fa”, itu lit tartib (mengandung makna berurutan).
Dan seandainya dipaksakan dengan arti berurutan, maka perintah takbir tersebut harus dilaksanakan setelah sempurna mengqada (yang tentu saja) di luar ramadhan, karena “Sempurnakanlah bilangan” maksudnya Allah memerintah mengqada (bagi yang pernah batal) shaumnya, untuk menyempurnakan bilangan shaum ramadhannya.[2]
b. Hadis Zaid bin Aslam
حَدَّثَنِي اْلمُثَنَّى قَالَ ثَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أََخْبَرَنَا ابْنُ اْلمُبَارَكِ عَنْ دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ قَالَ سَمِعْتُ زَيْدَ بْنَ أَسْلَمَ يَقُوْلُ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ قَالَ إِذَا رُأِىَ اْلِهلَالُ فَالتَّكْبِيْرُ مِنْ حِيْنَ يُرَى اْلِِهلََالُ حَتَّى يَنْصَرِفَ اْلِإمَامُ فِي الطَّرِيْقِ وَاْلمَسْجِدِ إِلَّا أَنَّهُ إِذَا حَضَرَ اْلإِمَامُ كَفَّ فَلَا يُكَبِّرُ إِلَّا بِتَكْبِيْرِهِ.
… Dari Dawud bin Qais, ia berkata : Aku mendengar Zaid bin Aslam berkata “Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuknya” Adalah apabila telah terlihat hilal, jadi takbir itu dimulai sejak dilihatnya hilal (tanggal I syawal) sampai dengan imam keluar ke jalan atau ke mesjid, hanya saja apabila imam telah hadir, hentikanlah dan jangan bertakbir kecuAli bersama-sama dengan takbir imam.[3]
Hadis ini pun tidak dapat dijadikan dAlil, karena Zaid bin Aslam adalah perawi yang dhaif. Menurut Ubaidullah bin Umar ; “Kami tidak mengetahui apa-apa pada dirinya, kecuAli hanya saja dia suka menafsirkan al-Quran berdasarkan pikirannya.”[4]
c. Hadis Abdurrahman bin Zaid
حَدَّثَنِيْ يُوْنُسُ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ قَالَ اْبنُ زَيْدٍ كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُوْلُ حَقٌّ عَلَى اْلمُسْلِمِيْنَ إِذَا نَظَرُوْا إِلىَ هِلَالِ شَوَّالٍ أًنْ يُكَبِّرُوا اللهَ حَتَّى يَفْرَغُوْا مِنْ عِيْدِهِمْ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى ذِِكْرُهُ يَقُوْلُ وَلِتُكْمِلُوا اْلعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ .
Telah menerangkan kepadaku Yunus, ia berkata ; telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahab, ia berkata ; Ibnu Zaid telah berkata : Bahwa Ibnu Abas berkata : Adalah suatu keharusan atas setiap Muslim apabila mereka melihat hilal Syawal hendaknya takbir kepada Allah sampai mereka selesai dari pelaksanaan Ied-nya, karena Allah swt berfirman : “Sempurnakanlah bilangan shaum serta bertakbirlah kepada Allah, karena ia telah memberi petunjuk kepadamu.”[5]
Pada hadis ini pun sama tidak dijelaskan kapan mulai takbirnya, pokoknya apabila melihat hilal. Di sini Ibnu Zaid pada akhir keterangannya menyatakan :
قَالَ ابْنُ زَيْدٍ يَنْبَغِي لَهُمْ إِذَا غَدَوْا إِلىَ اْلمُصَلَّى كَبَّرُوْا فَإِذَا جَلَسُوْا كَبَّرُوْا فَإِذَا جَاءَ اْلِإمَامُ صَمَتُوْا فَإِذَا كَبَّرَ اْلِإمَامُ كَبَّرُوْا وَلَا يُكَبِّرُوْنَ إِذَا جَاءَ اْلِإمَامُ إِلَّا بِتَكْبِيْرِهِ .
“Hendaklah bagi mereka apabila pergi ke lapang bertakbir, dan apabila telah duduk mereka terus bertakbir, dan apabila imam telah datang mereka diam. Apabila imam bertakbir maka bertakbirlah, dan janganlah mereka bertakbir apabila imam telah datang, kecuAli mengikuti takbir imam.”[6]
Keterangan ini tidak bertentangan dengan Al-Quran, justru sebagai penjelasan mengenai tatacara pelaksanaannya.
d. Hadis anjuran menghidupkan malam hari raya
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ اْلِفطْرِ وَلَيْلَةَ اْلَأضْحَى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ اْلقُلُوْبُ.
Dari Ubadah bin As-Shamit, Bahwasanya Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang menghidupkan malam Iedul Fithri dan Iedul Adha, tidak akan mati hatinya dikala hati orang-orang menjadi mati.”(HR. Al-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir dan Mu’jamul Ausat)[7]
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ قَامَ لَيْلَتَيْ العِيْدَيْنِ مُحْتَسِبًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ اْلقُلُوْبُ.
Dari Abi Umamah r.a, dari Nabi saw, beliau bersabda : “Barangsiapa yang berdiri (shalat) pada malam dua ied, dengan mengharapkan ganjaran, tidak akan mati hatinya dikala hati orang-orang menjadi mati.”(HR. Ibnu Majah)[8]
وَرُوِيَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَّلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عليه وسلم مَنْ أَحْيَا اللَّيَالِيَ اْلخَمْسَ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ لَيْلَةَ التَّرْوِيَّةِ وَلَيْلَةَ عَرَفَةَ وَلَيْلَةَ النَّحْرِ وَلَيْلَةَ اْلِفطْرِ وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ.
Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal, r.a, ia berkata : Rasulullah saw telah bersabda : “Barangsiapa yang bangun pada malam yang lima, wajib baginya (masuk) surga. (yaitu) Malam Tarawih, Malam Arafah, Malam Nahr (Iedul Adha), Malam Iedul Fithri, dan Malam Nispu Sya’ban.”(HR. Al Asbahani)[9]
Hadis-hadis di atas yang menganjurkan agar menghidupkan malam hari raya seluruhnya dhaif, dengan alasa sebagai berikut :
Hadis pertama diriwayatkan oleh Al-Thabrani dalam kitabnya Mu’jamul Kabir dan Mu’jamul Ausath, pada sanadnya terdapat rawi Umar bin Harun Al-Tsaqafi Al-Balkhi, yang keghAlibannya dipandang dhaif oleh para ulama. Walaupun ada yang menyanjungnya seperti Ibnu Mahdi dan yang lainnya, akan tetapi kebanyakkan para ulama mendhaifkannya.[10]
Ali bin Al-Husain bin Al-Jundi Al-Razi mengatakan, “Saya mendengar Yahya bin Main mengatakan, Umar bin Harun itu Kadzdzab (tukang dusta), ia datang ke Mekah, Ja’far bin Muhammad telah wafat. Ia menceritakan menerima hadis dari yang sudah wafat itu.”
Abdurrahman bin Abi Hatim telah berkata, “Aku bertanya kepada bapakku tentangnya, beliau menjawab : Ia dijarah oleh Ibnul Mubarak, maka hilanglah (tidak berarti) hadis-hadisnya”.
Abu ThAlib mengatakan, “Saya mendengar Ahmad bin Hanbal berkata, Umar bin Harun Saya tidak meriwayatkan apapun darinya, … maka aku telah meninggalkan hadisnya”.
Ali bin Husain bin Hiban (putranya Ibnu Hiban) mengatakan, “Saya mendapatkan pada kitab bapak saya dengan tulisan tangannya”, Abu Zakaria mengatakan, “Umar bin Harun Al Balkhi KadzdzAbun (pendusta) Khabisun (buruk) hadisnya bukan apa-apa … aku telah membakar semua hadis-hadisnya tiada yang tersisa kecuAli satu kalimat yang ada pada sampul kitab dan akupun telah membakar semuanya.” Dan masih banyak komentar para ahli yang menjarahnya.[11]
Hadis kedua diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab sunan, pada sanadnya terdapat rawi Baqiyah bin Al-WAlid, Rawi Mudallis dan menggunakan lafadz “an” dalam hadis ini.[12]
Hadis ketiga diriwayatkan oleh Al-Asbahani, pada sanadnya terdapat Abdurrahim bin Zaid Al-Umi. Nama lengkapnya abdurrahim bin zaid bin al-hawari al-ami, Abu zaid al-basri. Menurut Yahya bin Main : “Laisa bisyaiin”. Ibrahim bin Ya’qub Al-Jauzani : “Tidak tsiqah”. Abu Jur’ah berkata : “Lemah, hadisnya dhaif”. Abu Hatim berkata : “Hadisnya ditinggalkan, munkarul hadis …”Al-Bukhari berkata : “Mereka (ulama hadis) meninggalkannya”. Abu Dawud berkata : “Dhaif”. Al-Nasai berkata : “Matrukul hadis”.[13]
Ibnu Hajar berkata dalam kitab Takhrijul-Adzkar : “Hadis ini Gharib, dan Abdurrahim bin Zaid Al-Umi seorang yang periwayatannya Matruk (ditinggalkan)”. Dan telah menerangkan Ibnul Jauzi : “Hadis ini tidak shahih, dan Abdurrahim, menurut Yahya (bin Main) : Kadzdzab”, menurut Al-Nasai : “Matruk (ditinggalkan)”.[14]
Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalil yang kuat tentang takbiran malam hari raya ied al-fithri. Oleh karena itu, takbiran Iedul Fithri semalam suntuk, terus ditambah dengan berbagai tetabuhan dan berkeliling yang menimbulkan kegaduhan dan kebisingan, tidak pernah dicontohkan Rasulullah saw. Wallahu a'lam bi al-shawwab !
[1] Tafsir At-Thabari 1/91.
[2] Tafsir Ibnu Katsir, 1/217.
[3] Tafsir al-Thabari 2/92.
[4] Mizan al-I’tidal 2/98.
[5] Tafsir al-Thabari 2/157.
[6] Tafsir al-Thabari 2/157.
[7] Majma’ al-Zawaid 2/198, al-Targib Wa al-Tarhib 2/98, no. 1657.
[8] Al-Targib Wa al-Tarhib 2/98.
[9] Al-Targib Wa al-Tarhib 2/98, no. 1656.
[10] Majma’ al-Zawaid 2/198.
[11] Tahdzib al-Kamal, 12/525-528.
[12] al-Targib Wa al-Tarhib 2/98.
[13] Tahdzib al-Kamal 18/25-36.
[14] Faidu al-Qadir 6/39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar