Ketentuan I'tikaf di Bulan Ramadan (Gambar: Pixabay) |
KETENTUAN I’TIKAF, UMAT ISLAM WAJIB TAHU!
I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Adapun secara syar’I, I’tikaf berarti menetap di masjid untuk beribadah kepada Allah, yang dilakukan oleh orang khusus, dengan tatacara yang khusus.[1] I’tikaf ini salah satu jalan yang mudah untuk meraih malam lailatul qadar di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, yaitu pada malam-malam ganjilnya, 21, 23, 25, 27, dan 29.
Tujuan I’tikaf
Ibnu al-Qayyim menjeaskan, “Maksud I’tikaf adalah mengonsentrasikan hati supaya beribadah penuh kepada Allah swt. I’tikaf berarti seseorang menyendiri dengan Allah swt dan memutuskan diri dari berbagai macam kesibukan dengan makhluk. Orang yang beri’tikaf hanya berkonsentrasi beribadah kepada Allah swt. dengan hati yang berkonsentrasi sepperti ini, ketergantungan hatinya kepada makhluk akan berganti kepada Allah swt. rasa cinta dan harapnya akan beralih kepada Allah swt. ini tentu saja merupakan maksud besar dari ibadah yang mulia ini.[2]
Dalil disyariatkannya I’tikaf
Ibnu al-Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa I’tikaf itu sunnah, bukan wajib, kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya yaitu bernazar untuk melaksanakan I’tikaf.”
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata,
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ»
“Rasulullah saw biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR Bukhari)[3]
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi saw biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. bukhari)[4]
Waktu I’tikaf yang lebih afdhal adalah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sebagaimana hadis Aisyah, ia berkata, “Nabi saw beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir Ramdhan hingga wafatnya, kemudian istri-istri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR. Bukhari).[5]
Nabi swa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan agar mudah meraih malam lailatul qadar, untuk menghilangkan segala kesibukan dunia sehingga mudah bermunajat kepada Allah, juga untuk memperbanyak doa dan dzikir katika itu.[6]
Waktu I’tikaf
Orang yang hendak melakukan i’tikaf maka mulai masuk masjid sebelum matahari terbenam di hari shaum ke-20. Karena magribnya sudah masuk tanggal 21 Ramadhan dan hari pertama I’tikaf. Hal ini berdasarkan hadis yang menjelaskan bahwa Nabi saw melakukan i’tikaf selama 10 hari terakhir Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Riwayat ini menunjukkan bahwa i’tikaf dimulai dari magrib, karena hari dalam hitungan Islam dimulai sejak terbenamnya matahari.
Kemudian tujuan puncak seseorang melakukan i’tikaf adalah untuk mendapatkan lailatul qadar. Sementara malam ke-21 termasuk malam ganjil juga, sehingga mungkin saja pada malam tersebut terdapat lailatul qadar.
Dalam hal ini Imam As-Sindi dalam Hasyiyah an-Nasai mengatakan, “Di antara tujuan utama melakukan i’tikaf adalah mendapatkan lailatul qadar, dan malam qadar itu mungkin saja terjadi pada malam ke-21.” (Hasyiyah as-Sindi untuk sunan an-Nasai, 2/44).
Adapun hadis yang menjelaskan bahwa Rasul masuk tempat I’tikafnya setelah shalat shubuh, dari Siti Aisyah, di mana ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ، ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
“Keadaan Rasulullah saw apabila bermaksud beri’tikaf, beliau shalat shubuh terlebih dahulu, lalu beliau masuk ke tempat I’tikafnya.” (HR. Muslim)[7]
Hadis tersebut tidaklah menunjukkan bahwa Nabi saw. memulai i’tikafnya di pagi hari. Artinya, Nabi saw sudah mulai i’tikaf di malam hari, hanya saja beliau belum masuk tempat khusus untuk i’tikaf beliau (kemah atau tenda di dalam masjid). Beliau baru memasuki kemah itu setelah shalat subuh di pagi harinya.
Imam Al-Nawawi mengatakan:
وَأَوَّلُوا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُ دَخَلَ الْمُعْتَكَف , وَانْقَطَعَ فِيهِ , وَتَخَلَّى بِنَفْسِهِ بَعْد صَلَاته الصُّبْح , لا أَنَّ ذَلِكَ وَقْت اِبْتِدَاء الاعْتِكَاف , بَلْ كَانَ مِنْ قَبْل الْمَغْرِب مُعْتَكِفًا لابِثًا فِي جُمْلَة الْمَسْجِد , فَلَمَّا صَلَّى الصُّبْح اِنْفَرَد
“Mayoritas ulama memahami hadis di atas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke kemah i’tikaf, memisahkan diri, dan menyendiri setelah beliau melakukan shalat subuh. Bukan karena itu waktu mulai i’tikaf, namun beliau sudah tinggal di masjid sebelum maghrib. Setelah shalat subuh, beliau menyendiri.” (Syarh Shahih Muslim, 8/69)
I’tikaf harus dilakukan di masjid
Allah swt berfirman,
{ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. (QS. Al-Baqarah : 187).
Yang membatalkan I’tikaf
1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i.
2. Menjenguk yang sakit.
3. Mengantarkan jenazah.
4. Berhubungan suami istri (jima’).
Yang diperbolehkan Ketika I’tikaf
1. Keluar masjid disebabkan hajat (kebutuhan) yang mesti ditunaikan, seperti keluar untuk mandi dan buang hajat, serta ada hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
2. Melakukan hal-hal mubah, seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap hal positif dengan orang lain.
3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duan dengannya.
4. Membawa kasur dan perlengkapan lainnya untuk tidur di dalam masjid.
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan kepada Akllah swt. seperti berdoa, berdzikir, bershalawat kepada Nabi, mengkaji al-Quran, mengkaji hadis. Yang dimakruhkan adalah menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[8]
Demikian beberapa keterangan terkait panduan pelaksanaan I’tikaf. Bagi yang sudah siap untuk beri’tikaf, semoga lebih mantap lagi dan dilancarkan I’tikafnya. Bagi yang belum siap tahun ini, silahkan dipelajari dulu mudah-mudahan tahun-tahun berikutnya bisa mencobanya ibadah yang mulia ini. Dan meskipun belum bisa I’tikaf, jangan lupa untuk berkontribusi, baik dengan mengikuti kajiannya, mengikuti program infaq sedekahnya, atau ihyaul lailnya (menghidupkan malam), sehingga mendapatkan bagian pahalanya. Allahul musta’an!
Selasa pagi, 20 Ramadan 1444/ 11 April 2023
Artikel ahmadwandilembang.com
=========
Dapatkan update artikel islam setiap harinya dari ahmadwandi.blogspot.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kajian AWAL Official", caranya klik link https://t.me/awalofficialcom, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
[1] Lihat, Ahkam al-I’tikaf, hlm. 27, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah 5/206.
[2] Zad al-Ma’ad 2/82-83.
[3] Shahih. Al-bukhari (2025), muslim (1171).
[4] Shahih. Al-bukhari (2044).
[5] Shahih. Al-Bukhari (2026), Muslim (1172).
[6] Latha’if al-Ma’arif, hlm. 338.
[7] Shahih. Muslim (1172).
[8] Lihat, Shahih Fiqh Sunnah 2/150-158.
Alhamdulillah terima kasih
BalasHapus