(1) MUTIARA HADIS RIYADUS SHALIHIN: SETIAP AMAL TERGANTUNG NIAT - Ahmad Wandi Lembang

Terus berkarya, berbagi inspirasi, dan menebar manfaat

Breaking

Selasa, 21 Februari 2023

(1) MUTIARA HADIS RIYADUS SHALIHIN: SETIAP AMAL TERGANTUNG NIAT

 


(1) MUTIARA HADIS RIYADUS SHALIHIN: SETIAP AMAL TERGANTUNG NIAT

 

HADIS NO 1 SETIAP AMAL TERGANTUNG NIAT

 

(1) - وَعَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بْنِ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدِ اْلعُزَّى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قُرْطِ بْنِ رَزاحِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبٍ القُرَشِيِّ العَدَوِيِّ - رضي الله عنه - ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - ، يقُولُ : (( إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا ، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )) . مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ . رَوَاهُ إمَامَا الْمُحَدِّثِيْنَ ، أَبُوْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبهْ الجُعْفِيُّ البُخَارِيُّ ، وَأَبُو الحُسَيْنِ مُسْلمُ بْنُ الحَجَّاجِ بْنِ مُسْلمٍ الْقُشَيْريُّ النَّيْسَابُورِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فِيْ صَحِيْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ.

 

Dari Amirul Mukminin Anu Hafs Umar bin al-Khathab bin Nufail bin Abdul ‘Uza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib al-Qurasyi al-Adawi, dia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai yang diniatkannya. Maka barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka (pahala) hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka (pahala) hijrahnya itu sesuai dengan apa yang diniatkannya.”

Keshahihannya telah disepakati.[1] Diriwayatkan dua imam hadits, yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari dan Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qurasyi al-Naisaburi -semoga Allah meridhai keduanya- dalam kedua kitab shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih.

 

MUTIARA HADIS :

 

1.      Hadis ini adalah pondasi yang terbangun darinya qaidah fiqiyah kubra, yaitu al-umur bi maqasidiha. (al-Asybah wa al-Nazhair, al-Suyuthi, hlm. 39)

 

2.     

Al-Nawawi berkata, “Kaum Muslimin sepakat atas tingginya kedudukan hadis ini, banyak faidahnya dan keshahihannya.” (al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim, hlm. 1221)

 

3.      Al-Hafizh al-Mundziri berkata, “Sebagian ulama Mutaakhirin mengira bahwa hadis ini mencapai derajat mutawatir, namun sebenarnya tidak, karena menyendiri padanya Yahya bin Said al-Anshari dari Muhammad bin Ibrahim al-Taimi. Dari al-Anshari diriwayatkan oleh banyak rawi, sekitar dua ratus rawi, ada yang mengatakan tujuh ratus rawi, bahkan ada yang mengatakan juga lebih dari itu. Diriwayatkan melalui jalur yang lain juga selain al-Anshari, namun tidak ada yang shahih, sebagaimana dikatakan Ali al-Madini dan ulama hadis yang lainnya. Al-Khathabi berkata, ‘Aku tidak mengetahui dalam hal tersebut terdapat perbedaan di kalangan ulama hadis’. (al-Targhib wa al-Tarhib 1/107-108)

 

4.      Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali berkata, “Hadis ini tidak mutawatir, tetapi masyhur, yaitu termasuk hadis ahad yang shahih yang disepakati keshahihannya oleh para ulama, dan sampai kepada umat dengan diterima, sebagaimana dalam syarah arbain karya al-Hafizh Ibnu Rajab, ia berfaidah ilmu dan yakin, berbeda dengan apa yang ditampakkan sebagian kitab hari ini, bahwa hadis ahad secara mutlak tidak berfaidah ilmu, karena pendapat ini atas kemutlakkannya adalah batil tanpa keraguan. Penjelasannya dalam risalahku “Wujub al-Akhdi bi Ahadits  al-Ahad fi al-Aqidah”, dan risalahku yang lain “al-Hadits Hujjatun binafsihi fi al-Aqaid wa al-Ahkam” keduanya telah diterbitkan.” (Shahih Riyad al-Shalihin, hlm. 20)

 

5.      Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Selayaknya bagi setiap yang menulis kitab untuk memulai padanya dengan hadis ini, sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk membersihkan niatnya.” Al-Syafi’I berkata, “Masuk pada hadis ini tujuh puluh cabang ilmu.” Al-Bukhari berkata, “Hadis ini masuk pada iman, wudhu, shalat, zakat, haji, shaum dan hokum-hukum.” (Tahriz Riyad al-Shalihin, hlm. 10)

 

6.     

Al-Khathabi berkata, “Hadis ini adalah pokok yang besar dalam ushul al-din dan masuk kepada hokum-hukum yang banyak, … maknanya bahwa sahnya hukum amal itu pada hakikat agama ini tiada lain karena adanya niat, dan bahwasanya niat itu adalah pemisah antara amalan yang sah dan tidak sah.” (A’lam- al-Hadits Fi Syarh Shahih al-Bukhari 1/112)

 

7.      Al-Syatibi berkata, “Cukup bagimu bahwa niat untuk memisahkan antara adah dan ibadah. Dalam ibadah ada yang wajib dan tidak wajib. Dalam adah ada wajib, sunah, mubah, makruh, haram, shahih, rusak, dan lain-lain.” (al-Muwafaqat 2/323)

 

8.      Lafazh “innama” tujuannya adalah sebagai al-Hashr (pembatas), menetapkan yang disebut (amal) dan menafikan selainnya. Maka hadis ini maksudnya, bahwa amal itu dihitung berdasarkan niat, dan tidak dihitung apabila tanpa niat. Maka ini jadi dalil, bahwa thaharah seperti wudhu, mandi, tayamum tidak shah kecuali disertai dengan niat, demikian pula shalat, zakat, shaum, haji dan seluruh ibadah.” (Syarah Shahih Muslim, hlm. 1221)

 

9.     

Niat adalah maksud sesuatu disertai dengan melakukannya. Menghadapnya hati ke arah pekerjaan karena mengharap ridla Allah Ta’ala dan karena melaksanakan perintah-Nya. Menurut Ibnu Manzhur, “Kehendak hati untuk mengerjakan suatu perkara.” (Lisan al-‘Arab 14/343, Mu’jam al-Wasith 2/965)

 

10.  Al-Baidhawi berkata, ”Niat adalah dorongan hati yang dilihat sesuai dengan suatu tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau mendatangkan madharat dari sisi kondisi atau tempat.” (Fath al-Bari 1/13)

 

11.  Fungsi niat diantara ada tiga : 1] Untuk membedakan antara ibadah dengan adat (kebiasaan). Seperti duduk di mesjid, ada yang berniat istirahat, ada pula yang tujuannya untuk I’tikaf. Perbuatannya sama tapi niatnya berbeda. 2] Untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain. Seperti shalat empat rakaat, apakah shalat dzuhur, shalat ashar, ataukah shalat sunat ? perbuataanya sama tapi niatnya berbeda. 3] Pembeda tujuan amal, apakah karena Allah semata, tidak ada tujuan lain, atau memang karena Allah dan yang lainnya. Niat seperti inilah yang dibahas dalam pembahasan ikhlas dalam kitab-kitab para ulama.” (Syarah Arba’in oleh al-Nawawi hlm. 8, Mura’atu al-Mafatih syarah Misykat al-Mashabih 1/ 34)

 

12.  Niat mesti ada dalam setiap amal, baik untuk amal itu sendiri seperti shalat atau amal tersebut sebagai wasilah amal yang lain seperti thaharah, karena ikhlas tidak akan terwujud tanpa adanya niat.

 

13.  Niat tempatnya di hati bukan di lisan dalam semua ibadah seperti thaharah, shalat, zakat, shaum, haji, dan lain-lain. Imam al-Syafi’I pernah mengatakan, “Apabila seseorang niat haji dan umrah maka ia sudah cukup, meskipun tidak dilafadzkan. Berbeda dengan shalat, karena shalat itu tidak sah melainkan dengan ucapan.” Dalam hal ini Imam al-Nawawi (pengikut madzhab syafi’i) menjelaskan : “Telah berkata para sahabat kami (ulama dari kalangan madzhab syafi’i), orang yang memahami perkataan itu sebagai ushalli (melafazhkan niat shalat) adalah keliru. Karena yang dimaksud oleh Imam Syafi’i bukan demikian. Akan tetapi, yang dimaksud beliau adalah ucapan mulai shalat, yakni takbiratul ihram.” (Tahqiq Akhta’ al-Mushallin, hlm. 91).

 

14.

 
Antara niat dan amal keduanya harus searah dan seirama , tidak boleh berseberangan. Amal yang baik harus disertai dengan niat yang baik pula, karena niat yang baik tidak menjadikan yang jelek menjadi baik, yang munkar menjadi ma’ruf, yang bid’ah menjadi sunnah.

 

15.  Seorang pendakwah harus memberikan petunjuk kepada sesuatu yang bermanfaat, seperti yang contohkan oleh Rasulullah saw dalam hadis ini, menjelaskan urgensi niat dan mengikhlaskannya karena Allah ta’ala.

 

16.  Ikhlas karena Allah adalah syarat diterimanya amal, karena Allah tidak menerima suatu amal kecuali ikhlas dan benar. Ikhlas hanya karena Allah, dan benar apabila sesuai dengan sunnah Rasulullah saw yang shahihah.

 

17. 

Hijrah adalah meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah swt. dalam Islam hijrah ada dua : 1] Pindah dari tempat yang tidak aman ke tempat yang aman, seperti hijrah ke habasyah dan permulaan hijarh ke Madinah. 2] Pindah dari negeri kafir ke negri islam, seperti hijrah ke Madinah setelah rasul menetap di sana.

 

18.  Hijrah adalah memiliki keudukan yang sangat agung dalam Islam kaitannya dengan dakwah islam, sebagai bukti yang nyata atas kebenaran iman dan mengikuti Nabi saw, yang mana ia meninggalkan kampung halaman dan harta kekayaan, serta segala sesuatu yang mereka miliki, untuk menolong agama Islam.

 

19.  Barangsiapa yang niat hijrahnya karena allah dan rasul-Nya, maka pahala hijrahnya pahala hijrah karena Allah dan rasul-Nya. Maksudnya, bahwa tujuan hijrah adalah beribadah kepada allah swt dan tidak bercampur dengan tujuan dunia, maka pahala hijrahnya phala hijrah karena allah dan rasul-Nya, yaitu diterima di sisi allah dan rasul-Nya, pahalanya luas di sisi allah swt.

 

20.  Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak ia capai atau karena perempuan yang hendak ia nikahi, maka pahala hijrahnya tergantung niatnya untuk apa ia hijrah. Maksudnya, ia bermaksud bahwa tujuan dari hijrahnya adalah keduniaan, dan tidak bermaksud dengannya untuk akhirat.

 

21. 

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Barangsiapa yang dengan hijrahnya meninggalkan negara kafir dan karena menikahi perempuan secara bersamaan, maka dia tidak tercela dan tetap sah, namun dia berkurang (kualitasnya) dibandingkan dengan yang hijrahnya ikhlas (murni karena Allah).” (Fath al-Bari 1/17)

 

22.  Di antara materi pokok dakwah adalah menjelaskan keutamaan hijrah. Keutamaan hijrah ini diantaranya dijelaskan dalam QS al-Anfal : 74, QS. Al-Taubah : 100, QS. al-Taubah : 117, QS. al-hasyr : 9, karena zhahir ayat tersebut mendahulukan muhajirin daripada anshar, dan ini adalah urusan yang sudah disepakti di kalangan para ulama, tidak ada perpedaan padanya. (Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq Sami bin Muhammad al-Salamah, 4/96)

 

23.  Di antara besarnya keutamaan hijrah, Allah mengutamakan muhajirin daripada Anshar, karena mereka meninggalkan kampung halaman, negeri, keluarga, dan harta, mereka pergi dengan agamanya berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, karena hijrah terbesar adalah dari negeri kafir menuju negeri Islam.

 

24.  Para ulama menjelaskan hijrah kepada enam bagian : 1] keluar dari negeri perang ke negeri islam, berlaku sampai qiamat, 2] keluar dari negeri bid’ah, 3] keluar dari negeri yang terbiasa dengan yang haram, 4] lari dari ancaman bahaya badan, 5] keluar karena takut penyakit, dari negeri yang kotor ke negeri yang bersih, 6] keluar karena takut gangguan harta. (Syarah Risyad al-Shalihin, Dr. al-Husaini Hasyim, hlm. 16)

 

25.

 
Di antara metode dakwah, adanya targib (anjuran) dan tarhib (ancaman). Rasulullah saw menganjurkan untuk mengikhlaskan niat karena Allah swt, barangsiapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan pahala hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian ancaman, bagi yang tidak ikhlas dalam amalnya.

 

26.  Dalam riwayat al-Thabrani dengan sanadnya yang rawinya tsiqah dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, di antara kami ada seorang laki-laki yang mengkhitbah seorang perempuan bernama Ummu Qais, dia enggan menerima pinangannya sehingga berhijrah, maka berhijrahlah laki-laki dan menikahinya, maka kami menyebutnya muhajir Ummu Qais.

 

27.  Diriwayatkan bahwa maksudnya adalah seorang laki-laki yang meminang seorang perempuan di Makkah, lalu ia hijrah ke Madinah, lalu laki-laki tersebut mengikutinya karena ingin menikahinya. Maka dikatakan kepadanya muhajir Ummu Qais (Lihat, al-Mu’jam al-Kabir 9/106 no. 854). Al-Haitsami berkata, rawi-rawinya shahih (Majma’ al-Zawaid 2/101, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, hlm. 11). Wallahu a’lam bi al-shawwab !

 

Baca juga :

 

 

 

Referensi pokok :

1.        Nuzhat al-Muttaqin Syarah Riyad al-Shalihin, Dr Mustafa Said al-Khin, dkk, Muasasah al-Risalah, Cetakan ke-14, 1407 H/ 1987 M.

2.        Bahzat al-Nazirin Syarah Riyad al-Shalihin, Abu Usamah Salim bin Ied al-Hilali, Dar Ibn al-Jauzi, tt.

3.        Shahih Riyad al-Shalihin, Abu Usamah Salim bin Ied al-Hilali, Muasasah Ghiras, Cetakan pertama, 1423 H/ 2002 M.

4.        Syarah Riyad al-Shalihin, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Tahqiq Ahmad Abdurrazaq al-Bakri, Dar al-Salam, Cetakan pertama, 1423 H/ 2002 M.

5.        Tathriz Riyad al-Shalihin, Faishal Abdul Aziz Alu Mubarak, tahqiq Dr. Abdul Aziz bin Abdullah bin Ibrahim al-Zair Alu Hamd, Cetakan pertama, 1423 H/ 2002 M.

6.        Kunuz Riyad al-Shalihin, A. D. Hamad bin Nashir bin Abdirrahman al-Ammar, Dar Kunuz Isybiliya, Cetatan Pertama, 1430 H / 2009 M.

 

-----

 

Ahad pagi, 07 Jumadil Akhir 1443 H/ 09 Januari 2022 M

 

@ Maktabah Abu Abyan  – Lembang Bandung Barat

 

Ahmad Wandi Lembang

 

Artikel awalofficial.com

 

 

=========

Dapatkan update artikel islam setiap harinya dari ahmadwandi.blogspot.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kajian AWAL Official", caranya klik link https://t.me/awalofficialcom, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

 



[1] SHAHIH. Ahmad (1/25), Al-Bukhari (1), Muslim (1907), Abu Dawud (2201), al-Tirmidzi (1647), al-Nasai (1/59-60), Ibnu Majah (4227).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ARTIKEL SEBELUMNYA

GOES TO PANGANDARAN, FAMILY GATHERING 2024

GOES TO PANGANDARAN, FAMILY GATHERING 2024 Artikel Terbaru Ke - 227 Oleh : Ahmad Wandi, M.Pd (ahmadwandilembang.com) Pada hari Senin-Selasa,...