PERSATUAN ISLAM; KELAHIRAN DAN CIRI KHAS PERGERAKANNYA - Ahmad Wandi Lembang

Terus berkarya, berbagi inspirasi, dan menebar manfaat

Breaking

Jumat, 03 Februari 2023

PERSATUAN ISLAM; KELAHIRAN DAN CIRI KHAS PERGERAKANNYA

 Persatuan Islam (Persis)

PERSATUAN ISLAM;

KELAHIRAN DAN CIRI KHAS PERGERAKANNYA

 

Oleh Ahmad Wandi

 

(Bidang Dakwah PW Pemuda Persis Jabar)

 

Sejak kelahirannya, tahun 1923, banyak jasa yang telah diberikan Persis dalam mengenalkan umat Islam Indonesia terhadap al-Quran dan as-sunnah. Namun di sisi yang lain, banyak pula orang yang lupa dan melupakan, bahkan tidak tahu atau pura-pura tidak mau tahu, bahwa Persis telah berjasa kepada dirinya. Alasannya, entah hari ini dia tidak merasa butuh dengan Persis, atau mungkin cinta sudah berpindah ke lain hati.

Betapa pentingnya kita mengenal sejarah Persis, karena bagaimana pun Persis adalah sebuah organisasi islam besar yang sejak berdiri hingga hari ini telah banyak berkontribusi terhadap bangsa dan agama, khususnya di tanah air. Bung Karno pernah mengatakan JASMERAH, “jangan melupakan sejarah”. Lebih tegas lagi sejarawan muda dari Persis, Tiar Anwar Bachtiar menulis buku berjudul JASMEWAH, “jangan melupakan sejarah dan dakwah”.

Perjalanan Persis tidak sebentar, dengan berbagai dinamika perjuangannya yang masih eksis sampai hari ini, menunjukkan ada sesuatu yang menarik yang patut untuk diketahui serta direnungkan oleh seluruh kader Persatuan Islam. Sejarah kelahirannya, ciri khas pergerakannya, serta tujuan dan cita-citanya, wajib diketahui dan difahami oleh seluruh umat islam. Terlebih sebagai kader muda Persis, agar bisa meneruskan perjuangan mereka, berdakwah untuk menegakkan al-quran dan as-sunnah dalam segala aspek kehidupan.

KELAHIRAN PERSIS DAN CIRI KHAS PERGERAKANNYA

Pada permulaan abad ke-20, masa penjajahan kolonial Belanda, umat Islam dihadapkan pada situasi yang sangat sulit. Waktu itu agama Islam sering dijadikan serangan, cemoohan, serta tuduhan dan celaan orang-orang yang tidak menyukainya. Semuanya itu dilancarkan baik melalui lisan maupun tulisan, melalui ceramah-ceramah, mimbar gereja, pelajaran sekolah, surat kabar dan majalah dalam berbagai Bahasa, dengan maksud tiada lain untuk menanamkan benih-benih kebencian dalam hati bangsa pribumi (Indonesia) terhadap Islam dan pemeluknya.

Pada saat itulah, di sebuah gang (jalan kecil) bernama Gang Pakgade banyak berkumpul kaum saudagar dan para pedagang yang sering disebut dengan “urang pasar”. Meskipun sama kecilnya dengan gang yang lain dan tidak memiliki keistimewaan apa-apa, namun gang Pakgade inilah yang mencatat sebuah sejarah berdirinya suatu organisasi pembaharuan Islam yang bersemboyan Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah serta membersihkan Islam dari khurafat dan bid’ah yang mengotorinya. Organisasi tersebut kelak dikenal dengan nama “Persatuan Islam” (Persis).

Menurut catatan resminya, Persatuan islam (Persis) didirikan pada hari Rabu, 12 September 1923 M, bertepatan dengan 1 shafar 1342 H di Bandung. Pelopor berdirinya organisasi ini adalah H. Mohamad Zamzam dan H. Mohamad Yunus. Mereka berdua ini sebenarnya adalah pedagang, tetapi mereka masih mempunyai kesempatan untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Islam.

Dalam beberapa penelitian, kedua orang ini disebut-sebut sebagai warga Bandung yang berasal dari Palembang. Perhatian keduanya kepada masalah-masalah agama ditunjukkan dengan seringnya diadakan pertemuan-pertemuan khusus untuk mengkaji masalah keagamaan. Selain keluarga besar, hadir juga teman-teman dan kolega sehingga diskusi menjadi semakin semarak. Diskusi inilah yang mengawali didirikannya Persatuan Islam di kemudian hari sehingga boleh dikatakan bahwa Persatuan Islam (Persis) lahir dari suatu kelompok diskusi (studie club) masalah-masalah keagamaan. Diskusi menjadi semakin semarak dan bernas dengan bergabungnya A. Hassan pada sekitar tahun 1926 ke kelompok ini.

Persis sebagai organisasi didirikan untuk memperluas diskusi-diskusi keagamaan yang selama ini diselenggarakan agar isu yang didiskusikan tidak hanya diketahui di kalangan mereka. Perluasan itu dilakukan dengan cara mengeluarkan terbitan-terbitan hasil diskusi, mengadakan perdebatan dengan berbagai pihak, dan menghadiri undangan diskusi atau menyelenggarakan diskusi sejenis di tempat lain. Kegiatan semacam ini belum lazim dilakukan gerakan islam yang lain. Tradisi semacam ini hanya bisa diperbandingkan dengan berbagai studie club yang marak didirikan di berbagai kota besar pada tahun 1920 dan 1930-an oleh anak-anak muda yang nantinya menjadi tokoh-tokoh pergerakan seperti Sukarno, Wahidin, dan sebagainya.

Karena perannya dalam bidang pemikiran keagamaan lebih menonjol, banyak tokoh-tokoh intelektual dan ulama dari organisasi lain yang sudah berdiri lebih dahulu bergabung dengan Persis. Contohnya Munawar Chalil. Dia adalah seorang ulama kenamaan dari Kendal, Jawa Tengah. Dia menjadi anggota Muhammadiyah, dua tahun setelah lembaga itu berdiri. Pada saat yang sama, Munawar Chalil pun menjadi anggota Persatuan Islam. Bahkan terakhir ia menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Persatuan Islam.

Selain Munawar Chalil, tercatat pula tokoh-tokoh pergerakan organisasi lain yang menjadi anggota Persatuan Islam, antara lain Mohammad Natsir, anggota Jong Islamitian Bond, yang tertarik pada Persis setelah pertemuannya dengan A. Hassan dan diskusi-diskusi keagamaan Persis di Bandung. Selain itu, tercatat pula Sabirin, seorang tokoh penting Sarekat Islam, sebagai anggota Persis. Tercatat pula Hamka dan Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy.

Ketertarikan para tokoh organisasi pergerakan lain kepada Persis terutama setelah kedatangan A. Hassan yang memberi corak dan warna tersendiri pada Gerakan dan pemikiran Persatuan Islam. Diskusi-diskusi A. Hassan di forum-forum pengajian Persis dan publikasinya yang menjadi rujukan kelompok pembaharu di seluruh nusantara selalu menarik perhatian. Tokoh-tokoh yang bergabung dengan Persis juga turut menulis dan meramaikan wacana keagamaan baru dalam publikasi tersebut seperti Munawar Chalil dan Muhammad Natsir. Pikiran-pikiran A. Hassan dan kolega-koleganya di Majelis Ulama Persatuan Islam selalu menjadi rujukan. Bahkan sampai masa-masa berikutnya, tulisan-tulisan A. Hassan menjadi rujukan penting bagi anggota organisasi pembaharu yang lain dalam masalah-masalah hukum agama.

Menurut sejarawan Persis, Tiar Anwar Bachtiar dan Pepen Irpan Fauzan, dalam bukunya Sejarah Pemikiran dan Gerakan Politik Persis, Bergabungnya A. Hassan dengan Persis pada sekitar tahun 1926 bukan factor yang mengubah Persis menjadi cenderung kepada kaum reformis, melainkan memperkuat apa yang sebelumnya memang sudah menjadi ciri dan karakter dasar yang dimiliki oleh kelompok ini. Lebih dari itu, bergabungnya A. Hassan dengan Persis menjadi factor lain yang meningkatkan daya tawar Persis di tengah pasar pergerakan di Indonesia awal abad ke-20.

Sebagaimana karakter guru utama Persis, A. Hassan, kegiatan-kegiatan awal yang dilakukan oleh Persatuan Islam tidak jauh dari aktivitas intelektual. Hampir kurang terdengar aktivitas social dan politik secara praktis seperti pada masa-masa setelah Indonesia merdeka yang memberi ruang kepada Persis untuk memperbanyak aktivitasnya di luar lapangan intelektual. Pada masa awal sejarahnya hingga masa sebelum kemerdekaan Indonesia, aktivitas pokok Persis tidak lebih dari : pertama, penyelenggaraan kajian-kajian dan diskusi; kedua, penerbitan majalah dan buku-buku; ketiga, tabligh dan perdebatan-perdebatan; keempat, pendirian Lembaga Pendidikan.

Mengenai penyelenggaraan kajian, di atas sudah disinggung tentang awal mula berdirinya Persis, yaitu dari kajian-kajian yang diselenggarakan oleh para pendirinya sebagai respon terhadap kondisi actual yang tengah dihadapi. Salah satu keberuntungan Persis ketika A. Hassan bergabung adalah bahwa gagasan-gagasan yang didiskusikan oleh Persis memungkinkan untuk disebarluaskan melalui media tulisan. Sebelum datang ke Bandung, A. Hassan lama bekerja sebagai redaktur di majalah Utusan Melayu di Singapura. Oleh sebab itu, wawasannya tentang agama yang dipadu dengan skill menulis dan pengalaman menerbitkan majalah membuat A. Hassan memiliki kemampuan untuk menyebarluaskan pelbagai gagasan dalam diskusi-diskusi awal kelompok Persatuan Islam. kemammpuan ini tidak dimiliki semua aktivis Islam pada saat itu seperti Tjokroaminoto yang mendirikan Sarekat Islam atau Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah. Oleh sebab itu, bakat yang dimiliki A. Hassan, pada gilirannya menjadi semacam convarative advantage yang dimiliki Persis sehingga Persis dapat muncul dalam sejarah pergerakan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20.

Terbitan regular Persis pertama adalah Pembela Islam yang terbit pada tahun 1929. Oplahnya mencapai 2000 eksemplar. Majalah ini dilarang Belanda tahun 1935 karena dianggap memfitnah penulis-penulis Kristen Belanda. Selama enam tahun Pembela Islam telah terbit 71 kali. Majalah lainnya adalah al-Fatwa (1931), Al-Lisan (1935-1942), At-Taqwa (B. Sunda), Laskar Islam (1937), dan Al-Hikam (1939). Selain menerbitkan majalah berkala, Persis pun menerbitkan buku-buku berkaitan dengan masalah keagamaan. Buku-buku yang diterbitkan umumnya karangan A. Hassan dan M. Natsir meliputi pelbagai tema seperti aqidah, fiqih ibadah, muamalah, tafsir, hadits, adab, Bahasa arab, dan hasil-hasil tanya jawab serta bantahan terhadap karangan tokoh lain yang berseberangan.

Salah satu yang membuat Persis terkenal saat itu, tapi sekaligus ditakuti oleh orang lain adalah keberaniannya menantang pihak-pihak yang berbeda pikiran untuk berdebat. Cara ini unik, khas Persis, dan tidak lazim dilakukan oleh Gerakan-gerakan lain seperti Muhamadiyah yang lebih mengutamakan penyebaran pemikiran dengan tenang dan damai. Persis seringkali berinisiatif membuka forum perdebatan dan mengundang masyarakat luas untuk menghadirinya, bahkan jadwal perdebatan itu biasanya diterbitkan dalam majalah pembela islam dan al-Lisan.

Perdebatan-perdebatan penting yang pernah diselenggarakan Persis antara lain perdebatan dengan Ahmadiyah Qadian yang diadakan sebanyak tiga kali pada tahun 1930-an; perdebatan dengan organisasi tradisional seperti dengan ittihadul Islamiyah Sukabumi, Majlis Ahli Sunah di Bandung, dan Nahdatul Ulama di Ciledug, Cirebon pada tahun 1932 serta di Gebang tahun 1936. Selain masalah keagamaan, Persis pun sering melakukan debat tentang faham nasionalisme (kebangsaan) dengan H. Muchtar Luthfi dari Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) Minangkabau. Juga dengan para pemimpin agama lain seperti Kristen Advent Hari Ketujuh (seventh Day Adventits).

Dalam masalah Pendidikan, mula-mula Pendidikan yang diselenggarakan Persis hanya diberikan dalam ceramah-ceramah dan pertemuan-pertemuan lain yang diselenggarakan secara pribadi oleh anggota Persis dan bukan oleh organisasi Persis sendiri. H. M. Zamzam biasanya menjadi pembicara penting yang banyak menguraikan masalah akidah islam dan cara beribadah dalam islam.

Sekitar tahun 1927 Persis membentuk kelompok diskusi keagamaan untuk para pemuda islam yang telah menyelesaikan masa studinya di sekolah menengah pemerintah dan yang ingin mempelajari islam secara sungguh-sungguh. Kelompok itu dipimpin oleh A. Hassan yang bertindak sebagai guru. Tetapi, A. Hassan sendiri mengaku banyak belajar dari kelompok diskusi tersebut. Ia tertuntut untuk lebih memperdalam lagi agama karena didorong oleh masalah-masalah yang timbul dalam diskusi tersebut. Kursus ini antara lain dihadiri oleh Muhammad Natsir, Fakhruddin al-Kahiri, Rusbandi, Caya dan lain-lain.

Sekitar tahun 1930-an Persis memliki Lembaga Pendidikan formal bernama “Pendidikan Islam” atau Pendis. Proyek Pendidikan pertama ini dipelopori oleh M. Natsir. Lembaga ini terdiri dari beberapa buah sekolah antara lain Taman kanak-kanak (1930), HIS (1930), MULO (1931), dan sekolah guru atau kweekschool (1932). Selain Natsir, di Pendis ini aktif pula A.A. Banama dan Rusyad Nurdin.

Pada bulan Maret 1936, Persis mendirikan Lembaga Pendidikan lain yang bernama Pesantren Persatuan islam. Lembaga Pendidikan ini didirikan atas inisiatif A. Hassan yang dimaksudkan untuk membentuk kader-kader muballigh yang akan menyebarkan agama di tengah-tengah masyarakat. Pesantren persatuan islam pertama kali didirikan di Bandung. Kemudian didirikan pula di Bangil ketika A. Hassan ke Bangil pada tahun 1940. Kedua pesantren tersebut, di Bandung dan di Bangil terus berjalan dan berkembang sampai sekarang, meskipun pernah ditutup oleh Jepang pada tahun 1942.

Bila memperhatikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Persis pada masa awal berdirinya memang sangat terlihat bahwa orientasi Persis lebih banyak pada masalah-masalah yang berkaitan dengan pemikiran islam (dakwah dan Pendidikan). Karena yang diperbincangkan oleh Persis berangkat dari masalah-masalah yang sifatnya praktis, yaitu muncul dalam amaliah sehari-hari di masyarakat, maka pemikiran islam yang diperbincangkan oleh Persis pun cenderung lebih banyak membincangkan masalah-masalah fikih keseharian.

Karena bersentuhan langsung dengan public, maka beberapa isu yang berbeda dengan keseharian masyarakat menjadi topik cukup kontroversial seperti larangan melafalkan niat dalam shalat, larangan kenduri pasca-kematian (tahlilan), dan semisalnya. Masalah-masalah kontroversial ini justru pada gilirannya dapat memunculkan nama Persatuan Islam ke permukaan. (Tiar Anwar Bachtiar dan Pepen Irpan Fauzan, Sejarah Pemikiran dan Gerakan Politik Persis, hal. 58-70)

TUJUAN DAN CITA-CITA PERSIS

Pada waktu berdirinya Persis 12 September 1923 secara resmi di Bandung, umat Islam Indonesia pada umumnya masih terbelenggu oleh fatwa-fatwa yang tidak berdasar pada Al-Quran dan Sunnah. Mereka hanyut dalam arus praktek campuran antara unsur Islam dan unsur pra-Islam. Sebelum Persis berdiri secara resmi, telah terdengar semboyan dan suara yang menyerukan agar umat Islam Kembali kepada tuntunan Al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi seruan-seruan itu tidak diikuti dengan pemberantasan bid’ah, taqlid, dan syirik secara tegas dalam praktek kehidupan. Malahan ada kelompok yang bersemboyan Al-Quran dan Sunnah beranggapan bahwa perjuangan dalam memberantas bid’ah, taqlid, syirik, khurafat, dan takhayul itu hanya akan memecah persatuan di kalngan umat Islam. Persis tidak sependapat dengan golongan sepperti itu, sebab Persis malah berpendapat bahwa selama kaum muslimin belum Kembali kepada Al-Qauran dan Sunnah, selama itu pula kaum muslimin tidak akan dapat Menyusun persatuan yang hakiki, membina kekuatan, dan kekuasaan. Pandangan, keyakinan dan perjuangan Persis berpokok pada aqidah bahwa tauhid tidak mungkin dapat ditegakkan tanpa membasmi syirik, sunnah tidak mungkin dihidupkan tanpa memberantas bid’ah, dan ruhul ijtihad tidak mungkin dapat dihidupkan tanpa memberantas taqlid. Pandangan dan keyakinan Persis yang demikian itu telah membentuk watak dan moral perjuangan Persis sejak awal.

Tujuan dan cita-cita Persis diwujudkan dalam rencana jihadnya sebagaimana tercantum dalam Qanun Asasi (Anggaran Dasar) Persis Bab II Pasal 1 tentang rencana jihad umum sebagai berikut :

1.   Mengembalikan kaum muslimin kepada pimpinan Al-Quran dan Sunnah;

2.  Menghidupkan ruhul jihad dan ijtihad dalam kalangan umat islam;

3.  Membasmi bid’ah dan khurafat, takhayul, taqlid, dan syirik dalam kalangan umat islam;

4.  Memperluas tersiarnya tabligh dan dakwah Islamiyah kepada segenap lapangan masyarakat;

5.  Mengadakan, memelihara, dan memakmurkan, dan memakmurkan masjid, surau dan langar serta tempat ibadah lainnya untuk memimpin peribadatan umat Islam menurut sunnah nabi yang sebenarnya menuju kehidupan taqwa;

6.  Mendirikan pesantren atau madrasah untuk mendidik putera-putera Islam dengan dasar Al-Quran dan Sunnah;

7.  Menerbitkan kitab, buku, majalah dan siaran-siaran lainnya guna mempertinggi kecerdasan kaum muslimin dalam segala lapangan ilmu pengetahuan;

8.  Mengadakan dan memelihara hubungan yang baik dengan segenap organisasi dan Gerakan islam di Indonesia dan seluruh dunia islam, menuju persatuan alam islami.

Sedangkan rencana jihad khususnya, tercantum di dalam qanun Asasi Bab II Pasal 2 sebagai berikut :

1.   Membentuk hawariyyun islam yang terdiri dari Muballighin dan muballighat dengan jalan mempertajam serta memperdalam pengertian mereka dalam soal-soal dan ajaran islam.

2.  Mendidik dan membentuk warga dan anggota Persis supaya menjadi uswatun hasanah bagi masyarakat sekelilingnya, baik dalam lapangan aqidah dan ibadah maupun dalam muamalah.

3.  Mengadakan tantangan dan perlawanan terhadap aliran yang mengancam hidup keagamaan pada umumnya dan hidup keislaman pada khususnya, seperti paham materialism, atheism, dan komunisme.

4.  Melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam segala ruang dan waktu, dan melawan golongan musuh-musuh islam dengan cara yang sepadan sesuai dengan ajarn Al-Quran dan sunnah.

Untuk mamantapkan roda jam’iyyah dan legalisasi Gerakan organisasi, Mohamammad Natsir berusaha keras untuk mendapatkan status badan hukum organisasi dari pemerintah colonial Belanda. Pengajuan badan hukum Persis oleh Mohammad Natsir diajukan pada tanggal 03 Agustus 1938, namun baru dapat disetujui pada tanggal 24 Agustus 1939 dengan keluarnya status badan hukum bagi Persis dengan nomor : A.43/30/20, tertanggal 24 Agustus 1939 (Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, hal. 41-42).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Persis tampil dalam pentas sejarah pergerakan umat islam Indonesia sebagai kelompok mujaddid dalam menegakkan Al-Quran dan sunnah. Tampilnya Persis dalam kelompok modernis pada percaturan gerak pembaharuan Islam Indonesia merupakan jawaban atas tantangan kondisi umat Islam yang terbelenggu oleh khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik serta faham-faham yang menyesatkan. Perjalanan Persis dalam pentas sejarah tidaklah berhenti pada masa penjajahan colonial belanda, tetapi terus melangkah mengisi ruang dan waktu menentang segala macam pengaruh yang meracuni kehidupan umat Islam.

Akhir masa penjajahan colonial Belanda, merupakan awal aktivitas organisasi ini dalam menghadapi imperialisme Jepang yang tidak kalah kejamnya dengan imperialisme Belanda dalam mematahkan dan melumpuhkan jiwa potensi kaum muslimin. Perjuangan corak baru dalam menghadapi segala macam tantangan baru, terus berlangsung dalam gerakan sejarah sejarah Persis yang kini sudah hamper mendekati 1 abad.

Pola pergerakan jam’iyyah pada masa awal berdiri sampai sekarang terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontroversial yang bersifat gebrakan shock therapy, pada masa berikutnya bersifat persuasive edukatif. Pada masa berikutnya inilah Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis.

Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada persoalan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.

MUKTAMAR PERSIS KE-16 AKAN DISELENGGARAKAN DI BANDUNG

Berbicara tentang tentang sejarah Persis, Muktamar Persis ke-16 yang rencananya akan digelar di Bandung, dan ditunda karena corona, cukup menarik untuk tidak dilewatkan. Karena sejak berdirinya tahun 1923 di Bandung, dan dengan basis anggotanya di Bandung - sampai ada yang mengatakan “Persis Sunda”-, namun Persis sejak Muakhot 1981 (Muktamar ke 9) belum pernah menggelar Muktamar lagi di Bandung.

Tentang Muktamar ke-16 yang akan digelar di Soreang Kabuaten Bandung tersebut, ada beberapa alasan yang menarik menurut Prof. Dr. Dadan Wildan, M.Hum, dalam tulisannya di FB dengan judul “Refleksi Jelang Muktamar Ke-16 Persis; Esensi Muktamar Itu Musyawarah” ada pembahasan  bertema “Bermimpi Bandung menjadi lautan Persis” antara lain :

Pertama, Persis berdiri di Bandung tahun 1923, Bandung sebagai akar dan basis perjuangan Persis sejak berdirinya hingga saat ini. Pimpinan Pusat Persis, juga berada di Bandung. Dengan demikian, mobilisasi jamaah, untuk memeriahkan Muktamar, agar lebih mudah dan lebih besar.

Kedua, Bandung dan sekitarnya, termasuk Soreang, belum pernah menjadi tempat muktamar yang melibatkan massa dan jamaah Persis dalam jumlah besar kecuali Muakhot tahun 1982 padahal basis massa Persis ada di Bandung.

Ketiga, akomodasi dan transportasi lebih mudah. Bandung-Soreang saat ini, mudah dijangkau dengan terhubungnya jalan tol Soreang-Pasirkoja-Pasteur yang memudahkan akses bagi jamaah.

Keempat, pembukaan Muktamar dengan jumlah massa yang besar bisa saja diselenggarakan di stadion Jalak Harupat yang dapat dihadiri ribuan jamaah dan simpatisan Persis sehingga syiarnya akan lebih terasa.

Kelima, banyak pula pesantren dan masjid yang siap menampung para muhajirin peserta muktamar, karena wilayah Soreang dan sekitarnya, juga merupakan basis jamaah Persis.

Keenam, tiga hari muktamar di Bandung bisa menghijaukan dan mempersiskan Bandung sekaligus memproklamirkan Bandung sebagai kota Persis.

Saya membayangkan – itupun kalau wabah covid-19 sudah berlalu dan aman mengumpulkan massa- melalui Muktamar ke -16 , Bandung-Soreang akan menjadi Lautan Persis. Sepanjang jalan di mana-mana berkibar berdera Persis. Persis nu Aing tea kalau mengutip bobotoh viking.

PENUTUP

Pergerakan Persis yang dari awal sangat dominan di bidang pemikiran keislaman (dakwah dan Pendidikan) sudah sepatutnya direnungkan oleh setiap insan yang merasa dan mengaku sebagai anggota atau kader Persatuan Islam. Sudah benarkah kita melajutkan perjuangan orang tua kita dahulu? Sudah mampukah kita merawat perjuangan al-quran dan as-sunnah sebagai jariyah mereka? Karena bagaimana pun juga, kita hanya melanjutkan dan mengembangkan saja, sementara orang tua kita telah bekerja keras dan berdarah-darah memulai perjuangan ini pada masa lampau.

Menjelang Persis 1 abad, semoga spirit perjuangan orang tua kita mampu kita jaga, dan kita mampu istiqomah untuk membawa Persis yang lebih maju di usianya yang ke 100 tahun (2023). Sampai berjumpa di Muktamar ke-16 !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ARTIKEL SEBELUMNYA

GOES TO PANGANDARAN, FAMILY GATHERING 2024

GOES TO PANGANDARAN, FAMILY GATHERING 2024 Artikel Terbaru Ke - 227 Oleh : Ahmad Wandi, M.Pd (ahmadwandilembang.com) Pada hari Senin-Selasa,...