Oleh Ahmad Wandi
Setiap bulan Desember media sosial selalu ramai dengan perdebatan seputar Natal dan tahun baru. Pertanyaan yang sering dipermasalahkan oleh umat Islam hampir sama, selalu membahas boleh tidaknya mengucapkan selamat natal, membeli diskon natal dan tahun baru, sampai hokum merayakan tahun baru.
Dalam masyarakat yang majemuk, yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, kita harus betul-betul memahami dan memiliki pijakan yang jelas. Agar dalam menjalankan agama kita punya pegangan, tidak abu-abu (ragu), namun tetap damai, harmonis dan saling menghormati, di tengah semua perbedaan.
Sikap bijak pun dibutuhkan untuk menghadapi perbedaan tersebut, karena seringkali terjadinya gesekan dan adu domba. Gesekan dari pihak yang awam, iri dengki dari sesame, dan mengedepankan emosi. Sementara adu domba, dari pihak yang tidak suka dengan islam, mereka ikut memancing di air keruh. Oleh karena itu, agar tidak salah faham, enak makan dan enak tidur, sikapilah setiap perbedaan dengan bijak, ilmiah dan lapang dada.
Berikut adalah 6 pertanyaan dan jawaban beberapa persoalan terkait perayaan Natal dan tahun baru yang sering muncul. Baca pelan-pelan dengan seluruh pijakan dalilnya sampai tuntas agar tidak gagal faham.
1. Bolehkah mengucapkan selamat Natal?
Perayaan Natal dinyatakan sebagai hari raya untuk memperingati lahirnya Yesus Kristus, yaitu Nabi Isa AS yang waktunya setiap tanggal 25 Desember. Berkaitan dengan keyakinan tersebut, perayaan natal tidak terlepas dengan keyakinan mereka terhadap trinitas, bahwa tuhan itu ada tuhan bapak, tuhan ibu dan tuhan anak. Dan Yesus kristus atau Nabi isa AS itu diyakini sebagai anak tuhan.
Keyakinan tersebut sangat jelas bertentangan dengan konsep ketauhidan dalam islam. Berkaitan dengan keyakinan bahwa Yesus itu anak Tuhan, al-Quran mengisyaratkan betapa marahnya Allah SWT, alam semesta pun hampir runtuh dan hancur. Sebagaimana dalam ayat berikut.
Mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Pengasih telah mengangkat anak.” Sungguh, kamu benar-benar telah membawa sesuatu yang sangat mungkar. Karena ucapan itu, hampir saja langit pecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh berkeping-keping. (Hal itu terjadi) karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Tidak sepantasnya (Allah) Yang Maha Pengasih mengangkat anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba. (QS. Maryam [19]; 88-93)
Dalam hadis, keyakinan tersebut dinyatakan sebagai penghinaan dan pelecehan yang sangat nyata kepada Allah SWT. Pantaskah kita mengucapkan selamat, kepada orang yang telah dan sedang menghina dan melecehkan Allah SWT? Perhatikan hadis berikut.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَزَعَمَ أَنِّي لَا أَقْدِرُ أَنْ أُعِيدَهُ كَمَا كَانَ وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ لِي وَلَدٌ فَسُبْحَانِي أَنْ أَتَّخِذَ صَاحِبَةً أَوْ وَلَدًا
Dari Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: "Allah Ta'ala berfirman: 'Sebagian keturunan Adam telah mengatakan kebohongan tentang Aku padahal mereka sama sekali tidak berhak melakukan demikian. Dan mereka mencelaku, padahal mereka tidak punya hak untuk mencelaku. Kebohongan yang mereka perbuat tentang-Ku adalah mereka menganggap Aku tidak mampu menciptakan kembali sebagaimana dulu telah diciptakan. Adapun celaannya kepada-Ku, yaitu mereka mengatakan bahwa Aku mempunyai anak. Maha Suci Aku, sama sekali Aku tidak mengambil istri dan tidak mempunyai anak.' (HR. al-Bukhari 4482)
Adapun pelecehannya pada-Ku adalah ungkapannya, 'Allah telah menjadikan anak untuk diri-Nya.' Sementara Aku adalah Rabb Yang Maha Esa, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa Dengan-Ku.'" Firman Allah: {LAM YALID WALAM YUULAD, WALAM YAKUN LAHUU KUFU`AN AHAD}. (HR. al-Bukhari 4975)
Dalam al-kitab sendiri, Yesus tidak pernah menyatakan dirinya sebagai Tuhan, justru ia menyatakan bahwa Tuhan itu Esa, yaitu Allah SWT. Sebagai contoh saja, “… Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia.” (Ulangan 4:35). Dalam Markus, “Jawab Yesus: ‘Dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa’.” (Markus 12:29)
Hari Natal yang diperingati oleh umat Kristen setiap tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus, masih menyisakan sebuah tanda tanya besar bagi para sejarawan. Benarkah Yesus dilahirkan pada hari itu?
Alkitab Perjanjian Baru sendiri bungkam dan tidak pernah memberikan kata pasti mengenai waktu kelahirannya. Dari 26 kitab dalam perjanjian baru, hanya kitab Matius dan Lukas yang memberikan gambaran mengenai waktu kelahiran Yesus. Namun keduanya juga tidak mengatakan secara pasti mengenai waktu kelahirannya. Lebih lengkapnya silahkan rujuk buku “runtuhnya ketuhanan yesus” karya Achya Nuddin, Media Qalbu, 2004.
Bagaimana kalau alasannya toleransi? Jawabnya, toleransi telah diajarkan dalam Islam dengan sangat indah. Rasulullah ﷺ sebagai panutan kita adalah orang yang sangat toleran, begitu damai dan sangat bagus secara muamalah atau social, dengan orang-orang non muslim. Namun beliau tidak pernah mengucapkan apalagi sampai ikut-ikutan merayakan ritual agama mereka. Inilah toleransi yang sebenarnya.
Perhatikan surat berikut. “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Kamu juga bukan penyembah apa yang aku sembah. Aku juga tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun [109]: 1-6)
2. Bolehkah menghadiri undangan perayaan Natal?
Karena kita sudah mengetahui konsep dasar keyakinan Natal seperti di atas, yang sangat jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Maka segala sesuatu dalam bentuk dukungan, bantuan, persetujuan, semuanya tidak diperbolehkan.
Allah SWT berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-maidah: 2)
Menghadiri undangan mereka, sama dengan kita menyetujui apa yang mereka lakukan. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ pernah bersada,” Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Dalam hadis lain Rasulullah ﷺ pernah melarang mendatangin undangan yang di dalamnya terdapat kemaksiatan, seperti adanya khamer. Menurut berliau, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah dia duduk ditempat hidangan yang disediakan khamar.” (HR. Tirmidzi)
Untuk menghormati dan menghargai mereka, cukup dengan tidak terlibat, tidak ikut-ikutan, serta tidak mengganggu perayaan mereka.
3. Bolehkah belanja menggunakan diskon Natal?
Dalam konteks muamalah, berhubungan baik dengan pemeluk agama lain hukumnya boleh-boleh saja. Rasulullah ﷺ sering bermuamalah dengan non-muslim, seperti banyaknya orang Mekkah yang menitipkan harta mereka kepada Rasulullah ﷺ karena sifat amanah beliau ﷺ.
Adapun diskon adalah potongan harga yang diberikan penjual kepada pembeli sehingga harga barang menjadi lebih murah. Pemberian diskon adalah bentuk memberikan kemudahan dalam jual beli yang merupakan salah satu anjuran Rasulullah ﷺ: “Allah menyayangi orang yang memudahkan dalam menjual, membeli dan mengadili.” (HR. Bukhari no. 2076)
Maka bermuamalah dan jual beli dalam moment natal dan tahun baru diperbolehkan selama tidak terlibat dan ikut campur dalam perayaan atau ibadah ritual mereka.
4. Bolehkah jual beli saat Natal?
Imam Al-Maqdisi dalam Al-Adab Asy-Syar’iyyah membolehkan muslim jual beli barang untuk perayaan hari besar umat lain, seperti Natal. Beliau menjelaskan, “Umat Islam hanya dilarang memasuki sinagog dan gereja, adapun yang dijual di pasar seperti makanan maka tidak apa-apa. Meskipun barang itu dimaksudkan untuk menyempurnakan dan memperindah perayaan mereka.”
Namun, ada yang harus diperhatikan agar jual belinya menjadi sah dan tidak haram, bahwa sesuatu yang dijual harus bermanfaat secara syariat. Sehingga tidak diperkenankan menjual alat ataupun pernak-pernik spesifik yang digunakan untuk kegiatan peribadatan agama lain, karena dikhawatirkan akan menyalahi syariat islam.
Oleh karena itu, tidak diperkenankan menjual berhala (patung untuk disembah), salib, sesajen dewa-dewi, gambar malaikat, lilin natal, pita natal, topi sinterklas, rusa natal dsb.
Sementara itu, barang-barang umum yang tidak ada kaitannya dengan ritual ibadah seperti air mineral, snack, kopi, dsb. maka boleh untuk diperjualbelikan.
Misalnya, seorang muslim membuka toko kelontong tidak jauh dari gereja, lantas jemaat gereja ingin membeli satu dus air mineral. Maka, seorang muslim pemilik toko kelontong itu diperbolehkan menjual air tersebut kepada jemaat gereja. Karena komoditas yang dijualnya bersifat umum.
Atau seorang pemilik SPBU (pom bensin), maka boleh saja ia menjual bensinnya kepada siapa pun, terlepas pemilik kendaraan itu hendak ke gereja atau tidak.
Dengan kata lain, komoditas tersebut tidak berkaitan dengan ritual ibadah. Menjadi terlarang hukumnya bila seorang muslim menjual salib atau hiasan natal yang akan digunakan dalam ritual di gereja tersebut.
5. Bolehkah menerima hadiah Natal?
Saling memberi hadiah adalah perbuatan yang sangat mulia. Baik antar sesama muslim ataupun dengan non muslim. Rasulullah ﷺ pun pernah menerima hadiah dari non muslim. Seperti disampaikan oleh Sahabat Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah ﷺ pernah menerima hadiah jubah dari seorang Kristiani bernama Ukaidir dari Dumah. (HR. Bukhari no. 2615)
Selain itu, Rasulullah ﷺ juga mengizinkan para sahabat untuk menerima hadiah dari non-muslim, seperti yang diriwayatkan oleh sahabat Asma binti Abi Bakar ra. Asma meminta fatwa kepada Rasulullah ﷺ tentang hadiah pemberian ibunya, dan ketika itu, ibunya masih dalam keadaan musyrik. Ia bertanya: Ibuku datang ingin menyambung silaturahmi, apakah aku harus menyambungnya? Lalu Rasulullah ﷺ menjawab, “Ya, sambunglah tali silaturahmi dengan ibumu.” (HR. Bukhari no. 2620)
Namun berkaitan dengan hadiah perayaan, ini tidak lepas dari hokum perayaan itu dan keterlibatan di dalamnya. Ini sudah masuk ke dalam ranah ritual ibadah, sehingga kejelian dan kehati-hatian harus betul-betul diperhatikan.
Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ dalam salah satu fatwanya menyatakan.
“Tidak boleh seorang muslim memakan makanan yang dibuat oleh orang Yahudi dan Nashrani atau orang musyrik yang berhubungan dengan hari raya mereka. Begitu pula seorang muslim tidak boleh menerima hadiah yang berhubungan dengan perayaan tersebut. Karena jika kita menerima pemberian yang berhubungan dengan hari raya mereka, itu termasuk bentuk memuliakan dan menolong dalam menyebarluaskan syi’ar agama mereka. Hal itu pun termasuk mempromosikan ajaran mereka yang mengada-ada (bid’ah) dan turut gembira dalam perayaan mereka.” (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah no. 2882)
6. Bolehkah merayakan tahun baru?
Perayaan tahun baru, dilihat dari aspek sejarah, ternyata bukan masalah keduniaan belaka, tetapi memang bagian yang lahir dari ritual atau kepercayaan agama tertentu. Termasuk perayaan tahun baru masehi yang diperingati setiap tanggal 1 Januari.
Untuk menghormati Dewa Janus, seorang dewa yang memiliki dua wajah yang menghadap ke depan dan ke belakang, dewa permulaan sekaligus dewa penjaga pintu masuk, bangsa Romawi suka mengadakan perayaan setiap tanggal 31 Desember tengah malam untuk menyambut 1 Januari. Perayaan ini oleh Kaisar Romawi, Julius Caesar, sudah diberlakukan sejak 1 Januari 46 SM. Dalam perkembangannya mengalami modivikasi sampai disetujui oleh pemimpin tertinggi umat Katolik di Vatikan, Paus Gregory XIII pada tahun 1582.
Sementara dalam hadis, Rasulullah ﷺ menjelaskan sebagai berikut.
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ "
Dari Anas, dia berkata: Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, sedangkan penduduknya memiliki dua hari khusus untuk permainan (perayaan), maka beliau bersabda: "Apakah maksud dari dua hari ini?" mereka menjawab: "Kami biasa mengadakan permainan (merayakan) pada dua hari tersebut semasa masih Jahiliyyah." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari kedua hari tersebut, yaitu hari (raya) kurban (idul Adlha) dan hari raya Idul Fithri." (HR. Abu Dawud No. 1134)
Imam Muhammad Syamsul Haq al-Azhim Abadi menjelaskan, bahwa dua hari yang dimaksud adalah hari nairuz dan Mihrajan. Keduanya merupakan dua perayaan Jahiliyyah. Hari Nairuz adalah hari pertama dalam perhitungan tahun bangsa Arab yang diukurkan ketika matahari berada pada titik bintang haml/ aries. Hari Nairuz dalam perhitungan tahun matahari versi bangsa Arab sama dengan hari pertama Muharram dalam tahun berdasarkan bulan (Hijriah). Merayakan hari Nairuz, artinya merayakan tahun baru Matahari (masehi). Sementara hari Mihrajan adalah hari pertengahan tahun, tepatnya ketika matahari berada pada titik bintang mizan / gemini di awal musim semi, pertengahan antara musim dingin dan panas. (Aunu al-Ma’bud)
Artinya, bahwa hadis di atas dengan tegas menyatakan perayaan tahun baru masehi sudah ada sejak zaman dahulu, hanya berbeda istilah, waktu dan kemasan saja. Sehingga kalau kita mau taat kepada Rasulullah ﷺ harusnya kita tinggalkan, karena beliau membatasi hanya dua hari saja yang boleh dirayakan, yaitu Idul Fithri dan idul Adha.
Meskipun saat ini perayaan tahun baru sudah lazim dilakukan oleh semua orang dari agama apa pun. Namun kita tidak dapat menutup mata, bahwa asal muasal perayaan tahun baru ini bukan dari islam, tetapi dari kaum penyembah dewa dan salib.
Sehingga dengan fata sejarah tersebut, kaum muslimin yang ikut-ikutan merayakan tahun baru bisa dikategorikan tasyabuh, menyerupai golongan tersebut. Dan dalam hal ini Rasulullah ﷺ menegaskan.
Dari Ibnu Umar, berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud No. 4031)
Umat islam hari ini banyak yang meyakini bahwa untuk meninggikan derajat islam, ritual-ritual tertentu harus diselenggrakan demi menandingi umat yang lain. Padahal nyatanya, Nabi ﷺ justru melarang keras umatnya untuk melakukan hal tersebut karena termasuk tasyabuh.
Demikian 6 pertanyaan yang sering muncul seputar natal dan tahun baru. Setuju atau tidak setuju dengan artikel ini, sikapi secara bijak dan ilmiah, tetap saling menghargai dan menjaga persaudaraan. Karena kebenaran hanya milik Allah SWT. Semoga bermanfaat!
=========
Dapatkan update artikel islam setiap harinya dari ahmadwandi.blogspot.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kajian AWAL Official", caranya klik link https://t.me/awalofficialcom, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar