SANTRI, MUSIK DAN RADIKAL
Oleh Ahmad Wandi
Beberapa hari yang lalu sempat viral di media social, yaitu ketika menjalani vaksinasi para santri menutup telinga karena mendengar suara music. Apa yang dilakukan oleh para santri tersebut membuat para netizen berkomentar, dan tak sedikit yang komentarnya miring, dengan kata-kata “radikal”, “salah didik”, “banyak riset yang membuktikan pengaruh positif music …”, “Di negara maju music telah lama digunakan sebagai alat pendidikan ..”, “Terapi music digunakan untuk menyembuhkan berbagai gangguan kesahatan dan jiwa.”, "Kalo gua petugasnya, langsung gua setelin mereka Metallica. "Exit light.. enter nightttt !", "Gambaran surga penuh suka cita, penuh nyanyian dan musik. Mengapa malah tidak suka”, "Sampa segitunya mendidik anak-anak. Gini entar gedenya gampang najis-najisin sekitar”, “Kasian, dari kecil sudah diberikan pendidikan yang salah. There's nothing wrong to have a bit of fun!”, dan masih banyak lagi komentar miring lainnya, sampai komentar Deddy Corbuzier “Mungkin mereka lagi pakai airpod.. Terganggu.. Ye kaaaan.”
Kejadian tersebut mengingatkan penulis waktu nyatri 17 tahun silam, yaitu di Pesantren Persis 34 Cibegol Soreang, Bandung (1997-2004, Angkatan 5). Waktu itu penulis sempat mencoba menjadi santri yang “rajin menghafal al-Quran”. Beberapa kebiasaan yang mungkin “luar biasa” yang penulis lakukan waktu itu, diantaranya menghafal al-Quran, menghafal hadis, dan shalat malam. Belajar al-quran termasuk menghafalnya adalah pelajaran yang paling didambakan. Bagaimana tidak, pelajaran ini dalam hadis shahih dinyatakan sebagai “khairukum”, manusia terbaik, menurut Allah swt dan Rasul-Nya.
Terinspirasi dari para ulama seperti Imam al-Syafi’I, Imam al-Bukhari, Imam al-Nawawi ddl, mereka hafal al-quran sejak dini, maka penulis punya cita-cita ingin hafal al-Quran, baik ketika di Pesantren ataupun nanti setelah lulus. Dari cita-cita tersebut, muncul ide dan konsep menghafal, yaitu setiap harinya memiliki target menghafal dan muraja’ah. Sehingga ada jadwal menghafal, muraja’ah, dan setor hafalan.
Jadwal menghafal biasanya dilaksanakan sebelum shalat shubuh, ketika santri yang lain masih terlelap tidur, dan sebelum shalat maghrib, sambil menyusuri jalan di depan stadion si jalak harupat. Targetnya sederhana, setiap hari hanya 5 ayat. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah hafalan menyesuaikan dengan kemampuan, dan tambah hari bisa semakin banyak. Karena sebagaimana kata ustadz, bisa itu karena biasa, semakin sering kita menghafal al-Quran, maka semakin mudah al-Quran itu untuk dihafalkan.
Adapun muraja’ah adalah untuk menjaga ayat yang sudah dihafal. Karena ada yang bilang dan juga sangat terasa dalam pengalaman, menjaga hafalan itu lebih sulit daripada menghafal itu sendiri. Oleh karena itu, porsi muraja’ah ini harus lebih besar daripada menghafal. Adapun jadwalnya dilakukan mengikuti waktu shalat, 5 kali sehari dan disela-sela jadwal kosong di kelas. Targetnya muraja’ah ini sehari 1 juz, dengan jadwal : sabtu juz 1, ahad juz 2, senin juz 3, selasa juz 4, rabu juz 5, kamis juz 6, jum’at muraja’ah hafalan baru yang dihafal sepekan. Al-hamdulillah dengan konsep muraja’ah seperti ini, hanya beberapa bulan saja, juz 1-6 yang sudah dihafal sangat ringan untuk dijaganya.
Melihat cerita di atas, menghafal al-Quran sempat menjadi aktivitas prioritas yang pernah penulis lakukan di pesantren. Tentu saja, sebagai santri yang mencoba disiplin kuat dalam hafalan, waktu itu sempat mengharamkan music dan nonton televisi. Bahkan hal-hal lain pun yang tidak berguna, sesebisa mungkin dihindari agar bisa focus pada hafalan. Dan tentu saja tanpa tekanan, sangat menyenangkan, karena semua bersumber dari kesadaran dan cita-cita yang didambakan.
Ketika yang lain bermain music, penulis suka menghindar, karena kita punya hafalan yang harus dijaga dan diprioritaskan. Begitupun setiap malam jum’at (hari libur), santri yang lain berebut channel televisi, penulis focus mencari kegiatan lain yang lebih bermanfaat dan tidak merusak hafalan. Namun penulis pun tidak mengingkari, bahwa pada waktu-waktu tertentu memang pernah mendengarkan music, nonton televisi dan permainan lainnya.
Dengan pengalaman tersebut, tidak aneh kalau para santri yang konsentrasi menghafal al-Quran harus jauh dari music, karena music berpengaruh besar terhadap hafalannya. Yang tidak suka atau tidak pernah menghafal al-quran, apalagi bukan orang beragama “yang baik”, tidak akan pernah faham dan merasakan ini semua. CATAT INI BAIK-BAIK!
Adapun masalah hokum music itu sendiri, terjadi khilafiyah di kalangan para ulama, ada yang mengharamkan dan ada yang tidak, alias mubah atau boleh. Silahkan mau pilih pendapat yang mana, yang penting faham dalilnya, tahu landasan ilmunya. Tidak usah ribut, berantem, gara-gara beda pendapat atau pendapatan.
Penulis sendiri cenderung kepada pendapat bahwa musik itu hukumnya bisa haram dan bisa juga mubah. Sebagaimana disampaikan guru penulis, al-Ustadz Amien Muchar (Sigabah.com), bahwa hokum lagu dan music terbagi kepada dua macam :
Pertama, Nyanyian Yang Haram. Jenis nyanyian ini terbatas pada nyanyian yang disertai dengan perbuatan haram atau munkar, semisal minuman khamr, menampilkan aurat wanita, atau nyanyiannya berisi sya'ir yang bertentangan dengan aqidah atau melanggar etika kesopanan Islam. Contoh untuk ini adalah sya'ir lagu kerohanian agama selain Islam, lagu asmara, lagu rintihan cinta yang membangkitkan birahi, kotor, dan porno. Tak peduli apakah nyanyian itu berbentuk vokal atau diiringi dengan musik, baik yang dinyanyikan oleh lelaki maupun wanita. Keharaman karena keadaan dan kondisi tertentu oleh para ulama fiqih disebut haram ‘aridhi (haram karena faktor lain: sifat atau penggunaannya)
Kedua, Nyanyian Yang Mubah. Kriteria jenis nyanyian ini adalah tidak boleh bercampur dengan sesuatu yang telah disebutkan dalam jenis nyanyian yang haram di atas. Tidak juga diadakan di tempat-tempat maksiat, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya, yang di tempat itu wanita dan lelaki bebas bercampur-baur menari bersama.
Status nyanyian seperti di atas sama halnya dengan nyanyian yang membangkitkan semangat perjuangan (jihad), atau nyanyian yang sya'irnya menunjukkan ketinggian ilmu para ulama dan keistimewaan mereka, atau juga nyanyian yang memuji saudara-saudara maupun sesama teman dengan cara menonjolkan sifat-sifat mulia yang mereka miliki, atau juga nyanyian yang melunakkan hati kaum Muslimin terhadap agama, atau yang mendorong mereka untuk berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam dan bahaya yang akan menimpa orang yang melanggarnya. Begitu pula macam-macam nyanyian yang membicarakan tentang keindahan alam atau yang membicarakan tentang persoalan ilmu (pandai) menunggang kuda, dan sebagainya.
Adapun terkait komentar untuk netizen yang salah faham atau memandang negative, berikut catatan dari penulis:
1.
Perlu kita ketahui bahwa santri, kiai dan pesantren punya andil besar untuk bangsa ini, dari sebelum bangsa ini merdeka sampai meraih kemerdekaan, dan bahkan sampai sekarang. Data dan fakta yang berbicara ini sudah tidak diragukan lagi, karena dikaji dan diteliti oleh para ahli secara ilmiah. Oleh karena itu, jangan sekali-kali menuduh, menilai, dan menyudutkan mereka, kecuali anda hanya memperlihatkan “kebodohan” dan “kemunafikan”, sekaligus menyudutkan diri anda sendiri.
2. Istilah islam radikal, teroris, ektremis, fundamentalis, militan dll, akhir-akhir ini seringkali kita dengar, dan selalu ditujukan kepada umat Islam. Namun kadang kita lupa, dari mana istilah tersebut dan siapa yang memulainya? Anehnya kita tidak sadar, kalau istilah tersebut tidak pernah digunakan kepada agama lain, misalnya Yahudi Teroris, karena mereka membunuh dan mengusir rakyat Palestina. Atau misalnya Budha Radikal, karena mereka membunuh umat Islam minoritas di Uighur China. Satu contoh saja, Persiden Bush dalam pidatonya di depan undangan National Endowment of Democracy (Kamis, 6 Oktober 2005) menyebutkan 6 kali kata-kata Islam radikal sebagai ideologi di balik aksi-aksi terorisme. Jika Kriteria Islam radikal dan teroris sudah banyak dibuat, lantas kenapa tidak dibuatkan juga kriteria Kristen dan Yahudi Fundamentalis ? Misalnya : 1) Mereka yang sangat membenci Islam dan muslimien , 2) Mereka yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, 3) Mereka yang dengan dalih demokrasi dan HAM seenak perutnya menginvasi bangsa dan negara lain. 4) mereka yang dengan dalih “ The New World Order” bermimpi mendirikan “Imperium Amerika“ atau “The Jewish State, Eretz Israel” ( Negara Yahudi, Israel Raya ) yang membentang dari Tel Aviv sampai New York. dan sebagainya. Prof. Edward S. Herman Guru Besar di Universitas Pennslyvania dalam bukunya The Real Terror Network, dunia banyak mengutuk “Retail Violence“ (Radikalisme eceran) tetapi mendiamkan bahkan mendukung “Whole Sale Violence“ (Radikalisme Borongan); Dunia mengecam teroris individual, dan membiarkan teroris negara (State Terrorism), hanya karena faktor ketidak berdayaan.
3.
Sebelum kita berkomentar, apakah kita tahu “dunia” atau “permasalahan” yang akan kita komentari tersebut? Jangan sampai kita mengomentari sesuatu tanpa dasar ilmu, tanpa pijakan yang benar. Misalnya mengomentari santri, tetapi tidak tahu tentang dunia santri. Mengomentari santri yang menghafal al-quran, tetapi kita tidak tahu bagaimana dunia “menghafal al-quran” itu. Termasuk mengetahui hubungan santri menghafal al-quran dengan mendengarkan music.
4. Ketika ada santri tidak mau mendengar music, harus dihargai dan dihormati, karena masalah hokum music sendiri termasuk masalah khilafiyah dalam islam, yang secara hokum masih diperselisihkan di kalangan para ulama, sehingga tidak perlu saling menjelekkan apalagi dengan kata-kata yang tidak pantas. Apalagi mereka santri penghafal al-Quran, manusia hebat terpilih yang tidak semua orang mau dan bisa. Anda mengaku muslim dan tidak suka menghafal al-Quran juga, para santri diam saja tidak berkomentar kepada anda. Padahal sebenarnya anda yang harus dipermasalahkan, dan harus malu, mengaku muslim tetapi tidak hafal atau menghafal al-Quran.
5.
Nilai toleransi para santri begitu tinggi dalam kasus ini. Meskipun mereka tidak suka music, namun mereka tetap mengikuti proses vaksinasi dan tidak memprotes panitia. Mereka sangat toleran kepada orang yang menyenangi music, termasuk panitia silahkan kalau mau mendengarkan music. Sehingga sikap ini seharusnya mendapatkan apresiasi, bukan kecaman atau tuduhan negative.
6. Sejak kapan tidak mendengarkan music dinyatakan ekstrem atau radikal. Mungkin nanti dicap sebagai “teroris” sekalian. Masalah keduniaan seperti hobi, hiburan, olahraga, dll, bangsa dan agama kita memberikan keleluasaan, sesuai dengan kebutuhan dan pilihan masing-masing. Oleh karena itu, jangan dikait-kaitkan dengan sesuatu yang negative. Siapa yang mempermasalahkan, dialah yang bermasalah dan harus diberi pelajaran. Dia membuat kegaduhan, tidak toleran, dan merusak perdamaian antar golongan.
7. Bagi yang berkomentar miring, secapatnya bertobat dan minta maaf. Penulis merasa salut kepada Deddy Corbuzier yang mengaku bersalah dan klarifikasi soal ini, kemudian meminta maaf kepada semua pihak, karena dirinya merasa awam tentang urusan agama, termasuk tidak tahu kalau para santri itu mereka para penghafal al-Quran yang harus jauh dari musik.
8. Menghafal al-Quran adalah ibadah yang sangat mulia dan istimewa. Untuk berhasil mencapainya, yaitu hafal dan mutqin, pasti banyak cobaan dan godaan yang harus dilalui. Namun bagi penghafal sejati, seberat apapun godaaan itu, semuanya pasti akan mampu dilewati. Jangankan oleh gangguan music, gangguan orang yang berkomentar miring terhadap dirinya pun tidak akan berpengaruh kepada hafalannya. Pertanyaanya, siapkah kita menjadi penghafal al-Quran? Penghafal sejati?
9.
Dengan adanya covid-19 kita diingatkan untuk hidup sehat, bersih, bersyukur, bersabar, memperbanyak mengingat mati, memperbanyak bekal untuk akhirat, meyakini besarnya kekuasaan Allah, dsb. Dengan santri penghafal al-Quran yang tidak mau mendengar music, kita juga diingatkan kembali, untuk lebih dekat lagi dengan al-Quran, jangan terlena dengan gemerlapnya kehidupan dunia. Harus milih al-Quran daripada music. Jangan terlalu lama dengan music dan lupa al-Quran. Karena al-Quran adalah pedoman hidup menuju kesuksesan sejati.
10. Kewajiban umat islam terhadap al-Quran adalah mempelajarinya, membacanya, menghafalnya, memahaminya, mentadaburinya, mengamalkannya, serta mengajarkan dan mendakwahkannya.
Demikian sedikit catatan penulis, semoga bermanfaat. Semoga kita semua lebih berhati-hati dalam bersikap dan berkomentar. Lebih dekat lagi dengan al-Quran. Menjadikan al-Quran sebagai pedoman dalam kehidupan. Sehingga hidup ini berada di jalan yang lurus yang diridhai oleh Allah swt., amien ya rabbal alamien.
Lembang, 22 September 2021
Awalofficial.com
=========
Dapatkan update artikel islam setiap harinya dari ahmadwandi.blogspot.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kajian AWAL Official", caranya klik link https://t.me/awalofficialcom, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar