Membaca al-Quran adalah ibadah yang sangat mulia dan besar keutamaannya. Selain menjadikan kita lebih dekat dan faham dengan pedoman pokok umat islam tersebut, Allah pun akan membalasnya dengan pahala yang berlipat dan sangat istimewa. Setiap hurufnya dibalas 10 sampai 700 kali lipat. Betapa banyaknya pahala yang didapat, karena Basmalah saja 19 huruf, al-Fatihah 139 huruf, apalagi al-Baqarah, al-Kahfi, dan lain-lain.
Surat al-Kahfi adalah salah satu surat al-Quran yang wajib kita baca dan memiliki banyak keutamaan di dalamnya. Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan,
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ».
Dari Abu Darda' radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Barang siapa menghafal sepuluh ayat di awal surah Al-Kahfi, maka ia akan terjaga dari fitnah Dajjal." (HR. Muslim no. 809)
Surat yang populer dengan sebutan Ashaful Kahfi ini berada diurutan ke 18, termasuk golongan surat Makiyyah, berjumlah 110 ayat, 1589 kata, 6550 huruf, dalam 11,5 halaman (hlm. 293-304) mushaf ustmani, berada dalam juz 15 (1-74) – 16 (75-110).
Terkait membaca surat al-Kahfi malam jumat, sering menjadi pertanyaan di kalangan kita. Apakah disunnahkan atau tidak? Apakah ada dalilnya atau bagaimana kedudukan hadisnya? Tanpa mengurangi rasa hormat kepada saudara-saudara yang berbeda pendapat, di sini penulis hanya berkewajiban menyampaikan sedikit ilmu hasil penelitian yang didapatkan.
Berkaitan membaca surat al-kahfi malam jum’at setidaknya bersumber pada sepuluh buah hadits (marfu’) dan tiga atsar (maqthu’). Sepuluh hadis marfu’ tersebut bersumber dari Abu Sa’id Al-Khudri, Ali bin Ali Thalib, Aisyah, Zaid bin Khalid, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Al-Barra’, dan Ismail bin Rafi’. Adapun tiga atsar maqthu’ bersumber dari Abu Al-Mihlab Al-Jarami, Abu Qilabah Al-Jarami, dan Khalid bin Ma’dan.
Yang akan kita bahas pada tulisan singkat ini adalah hadis Abu Said al-Khudri, karena hadis tersebut adalah pokok dan paling masyhur dalam pembahasan ini. Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, hadis tersebut adalah hadis terkuat yang datang tentang surat al-Kahfi. (Faidhu al-Qadir 6/198)
Hadis yang dimaksud antara lain :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ ".
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca surah Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka Allah akan menyinarinya dengan cahaya di antara dua Jum’at.” (HR. Al-Hakim No. 3392, Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra no. 5996).
Dalam Lafazh yang lain:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: «مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ»
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu anhu, ia berkata: “Barang siapa yang membaca Surah Al Kahfi pada malam Jumat, dia akan disinari cahaya antara dirinya dan Ka’bah,” (HR. al-Darimi no. 3450)
Hadis tersebut dhaif dengan beberapa alasan :
1. Secara penyandaran, hadis ini diperselisihkan marfu’ dan mauqufnya di kalangan muhaditsin. Namun sebagian ulama merajihkan riwayat yang mauquf seperti al-Daraquthni, al-Baihaqi dan Ibnu al-Qayyim. (Lihat, al-Ilal 11/308, Syu’ab al-Iman 2/474, Zad al-Ma’ad 1/376)
Adapun bentuk tarjihnya sangat nampak, bahwa perawi yang meriwayatkan secara mauquf jumlahnya lebih banyak dan lebih kuat dari aspek kedhabitan.
2. Hadis ini madar (pangkal) sanadnya berpusat pada Abu Hasyim al-Rumani, dari Abu Mijlaz, dari Qais bin Ibad, dari Abu Said al-Khudri. (lihat pohon sanad dalam makalah lengkap)
3. Terdapat rawi yang bernama Abu Mijlaz, Lahiq bin Humaid bin Sa’id. Menurut Ad Dzahabi, ia termasuk rawi yang tsiqat dari thabaqah tabiin, akan tetapi ia yudallisu (Tahdzibul Kamal, 31/176, Mizanul Itidal, 7/152, Thabaqatul Mudallisin, 1/27).
Kaidah ulumul hadis menyatakan bahwa seorang rawi mudallis apabila meriwayatkan dengan bentuk ‘an (dari), maka periwayatannya itu munqathi (terputus) dan tertolak (Manhajun Naqd, hlm. 384). Dengan demikian, periwayatan Abu Mijlaz dari Qais bin ‘Ubad dalam hadis ini tertolak karena menggunakan shigah ‘an.
4. Pengkhususan berkaitan keutamaan membaca surat al-Kahfi pada hari atau malam jumat tidak diriwayatkan dari Abu Hasyim kecuali melalui dua jalur, yaitu Husyaim bin Basyir dari Abu Hasyim dan Qabishah bin Uqbah dari Sufayn al-Tsauri. Jalur lain yang lebih kuat, berbicara konteks pembahasan yang lain.
5. Husyaim bin Basyir bin al-Qasim bin Dinar As-Sulami, salah seorang rawi yang diperbincangkan di kalangan muhaditsin. Al-Dzahabi menyatakan, ’Husyaim bin Basyir, seorang yang hafidh, tsiqat, tetapi mudallis (Mantukullima fihi, 1/188). Ibnu Hajar menyatakan dalam kitabnya at Taqrib, ’Husyaim seorang rawi yang tsiqat, tsabtun, tetapi banyak mentadlis serta me-mursal khafikan hadis” (Tahdzibul Kamal, 30/272-290).
Dengan demikian periwayatan Husyaim pun tertolak, sebab dalam periwayatannya diragukan sima’-nya.
Imam Ahmad -termasuk yang meriwayatkan sejumlah hadis tentang wudhu dari Husyaim dengan sanad ini- mengatakan, “Husyaim tidak sima’ dari Abu Hasyim” (al-Ilal No. 2153).
Yang menguatkan bahwa Husyaim tidak sima’ dalam hadis ini, antara lain:
a. a. Husyaim masyhur dengan tadlis tulen sebagaimana pernyataan imam Ahmad.
b. b. Imam Ahmad menafikan sima’-nya Hushaim dan ia adalah termasuk orang yang paling tahu hadis Husyaim, paling mengetahui tadlisnya, termasuk guru-guru seniornya, dan telah hafal hadisnya seluruhnya sebelum wafatnya. Dan imam Ahmad juga telah menjelaskan tidak sima’nya Husyaim dalam hadis yang banyak. (al-Jarhu wa al-Ta’dil 1/295, Hilyat al-Auliya 9/163)
c. c. Terdapat perselisihan dalam redaksi matan hadis Husyaim yang mengindikasikan tidak sima’-nya dalam hadis ini, antara lain: keutamaan zikir setelah wudu, keutamaan membaca surat al-kahfi, menggabungkan keutamaan zikir setelah wudu dan membaca surat al-kahfi, surat al-kahfi akan menerangi sang pembaca satu minggu, dan orang yang membacanya akan disinari antara dirinya dengan kabah.
d. d. Dalam hadis ini Husyaim menyalahi riwayat Sufyan al-Tsauri (HR. Abdurrazaq no. 730) dan Syu’bah bin al-Hajaj (HR. al-Hakim no. 2125). Dalam riwayat Sufyan al-Tsauri dan Syu’bah bin al-Hajaj tidak ada keterangan hari Jum’at atau malam jumat (keutamaan dzikir setelah wudhu).
e. e. Sighah tahdits dalam sebagian sanadnya tidak menunjukkan sima’ sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad dan Ibn al-Madini. (Lihat, Syarah Ilal al-Tirmidzi 2/589-594)
6. Qabishah bin Uqbah menyendiri dalam periwayatannya (ada tambahan hari jumat). Ibnu Main berkata, “Tsiqat, kecuali dalam hadis Sufyan al-Tsauri tidak kuat.” Ahmad berkata, “Dia banyak salah.” (Tarikh Badad 12/474). Ya’qub bin Syaibah berkata, “Dia tsiqat shadiq Fadhil, diperbincangkan riwayatnya dari Sufyan secara khusus, Ibnu Main mendahifkan riwayatnya dari Sufyan.” (Tahdzib al-Kamal 23/481, Syarah Ilal al-Tirmidzi 2/811/812)
Riwayat Sufyan yang benar “tidak menyebut hari jumat” sebagai berikut:
عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي هَاشِمٍ الْوَاسِطِيِّ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عَبَّادٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: " مَنْ تَوَضَّأَ، ثُمَّ فَرَغَ مِنْ وُضُوئِهِ فَقَالَ: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ، خُتِمَ عَلَيْهَا بِخَاتَمٍ ثُمَّ وُضِعَتْ تَحْتَ الْعَرْشِ، فَلَمْ تُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ كَمَا أُنْزِلَتْ، ثُمَّ أَدْرَكَ الدَّجَّالَ لَمْ يُسَلَّطْ عَلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ عَلَيْهِ سَبِيلٌ وَرُفِعَ لَهُ نُورٌ مِنْ حَيْثُ يَقْرَأُهَا إِلَى مَكَّةَ "
Dari Abu Said al-Khudri, ia berkata: Barangsiapa yang berwudhu, kemudian selesai wudhunya membaca: subhanaka allahumma wabihamdika, asyhadu alla ilaha illallah, astagfiruka wa atubu ilaik, akan dicap padanya dengan stempel, kemudian disimpan di bawah arsy, sehingga tidak luntur sampai hari kiamat. Dan barangsiapa yang membaca al-Kahfi sebagaimana diturunkan, kemudian bertemu dajjal, tidak akan dikuasai olehnya, dan tidak ada jalan baginya kepadanya, serta akan diangkat baginya cahaya dari mana ia membacanya sampai ke Makkah.” (HR. Abdurrazaq, al-Mushannaf 1/186 no. 730).
Berdasarkan analisis tersebut, riwayat Qabishah dengan tambahan “hari jumat” adalah dhaif karena menyendiri dan juga menyalahi riwayat rawi lain yang lebih tsiqah seperti Waqi’, Ibnu Mahdi, Abdurrazaq.
Berdasarkan analisis tersebut, riwayat Husyaim diragukan kemuttasillannya dan bertentangan dengan riwayat lain yang lebih tsiqat. Sementara riwayat Qabishah, dia dhaif karena menyendiri dan menyalahi riwayat yang lainnya juga.
Terkait dhaifnya hadis tersebut, di antaranya diungkapkan oleh sebagian ulama dalam kesimpulan hasil penelitiannya, antara lain:
1. Ibnu Iraq al-Kinani (w. 963 H) : “Sungguh telah shahih hadis tentang perlindungan dari dajjal dengan menghafal membaca mentadaburi sebagian surah al-kahfi tanpa membatasi waktu dengan hari jumat diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Darda. Maka selain hadis ini termasuk hadis yang dipandang munkar.” (Tanzih al-Syariah 1/302)
2. Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan : “Hadis pokok, paling masyhur dan paling kuat dalam bab ini adalah hadis Abu Said al-Khudri. Pengkhususan membaca surat al-Kahfi pada hari jumat atau malamnya hadisnya tidak ada yang shahih, baik marfu’ ataupun mauquf. Selain hadis Abu Said dhaifnya fatal dan sebagian matannya terdapat nakarah (kemunkaran).” (al-Ahadits al-Waridah, hlm. 58-59)
Berdasarkan uraian di atas, setidaknya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat keutamaan membaca surat al-kahfi.
2. Membaca surat al-kahfi dalam hadis shahih tidak disebutkan waktu dan tempatnya (berlaku umum).
3. Membaca surat al-kahfi dengan pengkhususan waktu tertentu (malam/ hari jum’at), tidak berdasarkan hadis shahih, dikhawatirkan masuk kepada satu bid’ah dalam ajaran agama. Wallahu a’lam bi al-shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar