Cara salat jamak takhir (Gambar: Pixels) |
BAGAIMANA CARA SHALAT JAMA’ TAKHIR ?
Bagaimana cara jamak takhir zhuhur dan ashar, maghrib dan isya? Apakah yang dimaksud jamak itu shalatnya atau waktunya? Mohon penjelasannya.
Jawaban :
Lahirnya syariat jamak pada shalat wajib tidak terlepas dari waktu yang mengikat kewajiban shalat tersebut. Allah swt berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu telah ditetapkan waktu-waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa [4]: 103)
وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى
Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari (subuh) dan sebelum terbenamnya (asar) dan bertasbih pulalah pada sebagian waktu malam (isya) dan ujung siang (maghrib dan zhuhur) supaya engkau merasa senang. (QS. Thaha [20]: 130)
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat). Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. Al-Isra [17]: 78)
Dalam hadis diterangkan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «وَقْتُ الظُّهْرِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ، وَوَقْتُ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَسْقُطْ ثَوْرُ الشَّفَقِ، وَوَقْتُ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ، وَوَقْتُ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ»
Dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata, ‘Sesungguhnya Nabi saw. Bersabda, “Waktu zhuhur apabila matahari tergelincir dan (sampai) bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya selama belum dating ashar. Waktu ashar selama matahari belum menguning. Waktu maghrib selama syafaq (senja) belum terbenam (senja merah). Waktu isya sampai tengah malam yang pertengahan. Dan waktu subuh mulai fajar menyingsing selama belum terbit matahari.” (HR. Muslim)[1]
Arti Jamak
Jamak artinya mengumpulkan, yaitu mengumpulkan dua shalat pada satu waktu, baik taqdim (mengerjakan shalat ashar pada waktu shalat zhuhur) maupun takhir (mengerjakan shalat zhuhur pada waktu shalat ashar), yang masing-masing shalat dengan iqamah, demikian pula maghrib dengan isya. Jadi yang dimaksud jamak itu adalah jamak waktu sebagai sabab yang di dalamnya ada kewajiban shalat, baik jamak taqdim maupun takhir.
Secara terperinci dapat dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan jamak adalah :
1. Melaksanakan shalat zhuhur dan ashar pada waktu zhuhur atau melaksanakan shalat maghrib dan isya pada waktu maghrib, dinamakan jamak taqdim.
2. Melaksanakan shalat zhuhur dan ashar pada waktu ashar atau melaksanakan shalat maghrib dan isya pada waktu isya, dinamakan jamak takhir.
Jamak taqdim tidak diperbolehkan kecuali bagi orang yang sedang bepergian (safar). Sedangkan jamak takhir selain diperkenankan bagi orang yang sedang bepergian (safar), boleh pula dilakukan pada waktu berada di tempat sendiri (muqim) yang dasarnya bukan kemalasan atau meremehkan kewajiban tetapi karena ada keperluan yang emndesak. Oleh karena itu, sekalipun jamak takhir diperbolehkan dilakukan pada waktu hadir di negeri sendiri, namun tidak boleh menjadi kebiasaan.
Dalil bolehnya jamak taqdim dan takhir ketika safar
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا وَإِذَا زَاغَتْ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ.
Anas bin Malik ra berkata, Nabi saw. Bila berangkat bepergian sebelum matahari condong, beliau mengakhirkan pelaksanaan shalat zhuhur hingga waktu ashar, allu menggabungkan keduanya. Dan bila berangkat setelah matahari condong, beliau melaksanakan shalat zhuhur terlebih dahulu kemudian setelah itu berangkat. (HR. al-Bukhari)[2]
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي السَّفَرِ، أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَدْخُلَ أَوَّلُ وَقْتِ الْعَصْرِ، ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا
Dari Anas ra., ia berkata, “Apabila Nabi saw hendak menjamak antara dua shalat ketika dalam perjalanan, beliau mengakhirkan shalat zhuhur hingga awal waktu ashar, kemudian beliau menjamak antara keduanya.” (HR. Muslim)[3]
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ، أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إِلَى الْعَصْرِ، فَيُصَلِّيَهُمَا جَمِيعًا، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ، صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، ثُمَّ سَارَ، وَكَانَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ الْمَغْرِبَ، أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْعِشَاءِ، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، عَجَّلَ الْعِشَاءَ فَصَلَّاهَا مَعَ الْمَغْرِبِ
Dari Muadz bin Jabal ra (berkata), “Nabi saw. Pada perang Tabuk, bila berangkat sebelum tergelincir matahari, beliau mengakhirkan zhuhur kemudian menjamaknya dengan ashar. Tetapi apabila berangkat setelah tergelincir matahari, beliau menjamak zhuhur dan ashar itu (pada waktu zhuhur), lalu berangkat (meneruskan perjalanannya). Demikian pula bila beliau berangkat sebelum maghrib sehingga menjamaknya dengan isya, dan bila berangkat setelah masuk waktu maghrib, beliau menyegerakan isya dan mejamaknya dengan maghrib (jamak taqdim).” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Abu Dawud)[4]
Baca pula : BAGAIMANA HUKUMNYA TA’ZIYAHONLINE ?
Dalil bolehnya jamak takhir di tempat sendiri
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا سَفَرٍ» قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ: فَسَأَلْتُ سَعِيدًا، لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِي، فَقَالَ: «أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ»
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah saw pernah zhalat zhuhur dan ashar dengan jamak di Madinah bukan karena takut dan bukan pula karena safar.” Abu Zubair mengatakan, Aku bertanya kepada Sa’id, mengapa beliau melakukan hal itu? Dia menjawab, Aku bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana kamu bertanya kepadaku, lalu ia menjawab, “Beliau ingin supaya tidak memberatkan seorang pun dari umatnya.” (HR. Muslim)[5]
Adapun tatacara pelaksanaan jamak tidak berbeda, baik takhir maupun taqdim selain dalam waktunya semata. Berikut penjelasan kaifiyatnya:
Pertama, dilaksanakan dengan satu kali adzan dan dua kali iqamah, yaitu iqamah pada masing-masing shalat yang dijamak tersebut. Dalam hadis dijelaskan,
... ثُمَّ أَذَّنَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ، وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا ...
“… Kemudian beliau adzan lalu iqamah lalu shalat zhuhur kemudian iqamah lalu shalat ashar dan tidak melaksanakan shalat sunat apapun di antara keduanya …” (HR. Muslim,)[6]
حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ، فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ، وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
“… Beliau datang ke Muzdalifah lalu shalat maghrib dan isya dengan satu kali adzan dan dua kali iqamah dan tidak melaksanakan shalat sunat apapun di antara keduanya …” (HR. Muslim)[7]
Tidak diselingi shalat sunat, sebagimana dijelaskan dalam kedua hadis di atas juga tidak diselingi oleh dzikir, karena shalat yang kedua dilaksanakan langsung setelah shalat yang pertama. Dalam sebuah hadis dijelaskan,
أَنَّ عَلِيًّا، كَانَ " يَسِيرُ حَتَّى إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَأَظْلَمَ، نَزَلَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ، ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ عَلَى أَثَرِهَا "، ثُمَّ يَقُولُ: " هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ
Sesungguhnya Ali ra. Berjalan sampai matahari ternggelam dan telah gelap, maka dia singgah dan shalat maghrib, lalu shalat isya langsung setelahnya, kemudian dia berkata, “Demikianlah aku melihat Rasulullah saw melakukannya.” (HR. Ahmad)[8]
Kedua, dilaksanakan secara berurutan sesuai dengan urutan asal kedua shalat tersebut, yaitu apabila menjamak shalat zhuhur dan ashar, maka laksanakan shalat zhuhur terlebih dahulu, demikian pula apabila menjamak shalat maghrib dan isya, maka laksanakan shalat maghrib terlebih dahulu. Dalam sebuh hadis diterangkan,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَعْجَلَهُ السَّيْرُ فِي السَّفَرِ يُؤَخِّرُ صَلَاةَ الْمَغْرِبِ حَتَّى يَجْمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْعِشَاءِ قَالَ سَالِمٌ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ إِذَا أَعْجَلَهُ السَّيْرُ وَيُقِيمُ الْمَغْرِبَ فَيُصَلِّيهَا ثَلَاثًا ثُمَّ يُسَلِّمُ ثُمَّ قَلَّمَا يَلْبَثُ حَتَّى يُقِيمَ الْعِشَاءَ فَيُصَلِّيهَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُسَلِّمُ وَلَا يُسَبِّحُ بَيْنَهُمَا بِرَكْعَةٍ وَلَا بَعْدَ الْعِشَاءِ بِسَجْدَةٍ حَتَّى يَقُومَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ.
Dari Abdullah bin Umar ra berkata, Aku melihat Rasulullah saw. Jika perjalanan mendesak, beliau mengakhirkan shalat maghrib dan menggabungkannya bersama shalat isya. Sali berkata, Dan Abdullah bin Umar ra mengerjakannya juga bila terdesak (tergesa-gesa) dalam perjalanan. Beliau hanya melaksanakan shalat maghrib sebanyak tiga rakaat lalu salam. Kemudian berdiam sejenak lalu melaksanakan shalat isya sebanyak dua rakaat dan dia tidak menyelingi di antara keduanya dengan shalat sunnah satu rakaat pun dan juga tidak sesudahnya hingga beliau bangun di penghujung malam (untuk shalat malam). (HR. al-Bukhari)[9]
وَعَنْ أُسَامَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا جَاءَ الْمُزْدَلِفَةَ نَزَلَ فَتَوَضَّأَ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ، ثُمَّ أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ، ثُمَّ أَنَاخَ كُلُّ إنْسَانٍ بَعِيرَهُ فِي مَنْزِلِهِ ، ثُمَّ أُقِيمَتْ الْعِشَاءُ فَصَلَّاهَا وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Dari Usamah ra., bahwa “Nabi saw. Tatkala sampai di Muzdalifah beliau turun dan wudhu secara sempurna, kemudian iqamah dikumandangkan, dan beliau pun melaksanakan shalat maghrib. Kemudian orang-orang menderumkan unta-unta mereka pada tempatnya, lalu iqamah isya dikumandangkan, beliau lalu mengerjakan shalat isya tanpa mengerjakan shalat isya tanpa mengerjakan shalat yang lain (shalat sunat) di antara keduanya.” (HR. Muttafaq alaih)[10]
Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut dapat disimpulkan:
1. Yang dimaksud jamak itu adalah jamak waktu sebagai sebab yang melahirkan kewajiban shalat.
2. Pelaksanaan shalat jamak, baik jamak taqdim maupun jamak takhir, sesuai dengan urutan waktunya.
Wallahu a’lam bi al-shawwab!
(Sumber: Majalah Risalah, Agustus 2021)
.
Kirimkan pertanyaan anda ke : 089626128748
.
Ahad pagi, 04 Ramadhan 1444 H/ 26 Maret 2023 M
.
.
.
Artikel ahmadwandilembang.com
.
=========
Dapatkan update tanya jawab masalah lainnya setiap hari dari ahmadwandi.blogspot.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kajian AWAL Official", caranya klik link https://t.me/awalofficialcom, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
[1] SHAHIH. Muslim (612).
[2] SHAHIH. Al-Bukhari (1111).
[3] SHAHIH. Muslim (704).
[4] SHAHIH. Ahmad (22094), Abu Dawud (1220), al-Tirmidzi (561), (562), Ibnu HIban (1458).
[5] SHAHIH. Muslim (705).
[6] SHAHIH. Muslim (1218).
[7] SHAHIH. Muslim (1218).
[8] HASAN. Ahmad (1143), Ibnu Abi Syaibah (2/458), Abu Ya’la (464). Menurut Ahmad Syakir, “Sanadnya shahih”. Menurut Syu’aib al-Arnaut, “Sanadnya Jayyid”. Menurut Husain Salim Asad, “Sanadnya hasan.”
[9] SHAHIH. Al-Bukhari (1109).
[10] SHAHIH. Nail al-Authar 5/255 no. 1178. Al-Bukhari (136), (1560), Muslim (2256).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar