Hukumnya Ta'ziyah Online (Gambar Pixabay) |
*BAGAIMANA HUKUMNYA TA’ZIYAH ONLINE ?*
Pada masa Covid-19, menghindari kerumunan merupakan salah satu daripada prokes, sehingga ketika ada kematian, berkembang konsep ta’ziyah secara online dengan acara resmi, bagaimana hukumnya ?
JAWAB :
Ta’ziyah secara Bahasa berasal dari kata ‘azza yang artinya membuat sabar yang ditimpa musibah. Sedangkan menurut istilah adalah melayat dan menghibur keluarga yang ditimpa musibah diantaranya dengan memotivasi janji pahala dari Allah, membuat makanan untuk keluarga si mayit, mengingatkan mereka untuk bersabar atas musibah, serta mendoakan jenazah.
Ta’ziyah hukumnya sunat, berdasarkan sabda Rasulullah saw :
"مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ، إِلَّا كَسَاهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنْ حُلَلِ الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"
_“Tidaklah seorang mukmin berta’ziyah kepada saudaranya yang terkena musibah, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala akan mengenakan pakaian kehormatan untuknya pada hari kiamat.”_ (HR. Ibnu Majah)[1]
Salah satu bentuk ta’ziyah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw adalah membuatkan makanan untuk keluarga si mayit, sebagaimana yang diperintahkan beliau kepada para sahabat untuk keluarga Ja’far.
«اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا، فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ»
_“Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far, sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.”_ (HR. Abu Dawud)[2]
Adapun salah satu batasannya adalah tidak melakukan perbuatan niyahah yaitu meratapi mayit yang hukumnya haram. Di antara perbuatan niyahah menurut kesepakatan para sahabat adalah berkumpul dan makan-makan di rumah kematian setelah dikuburkan, berikut keterangan dari sahabat Jarir bin Abdullah:
" كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ "
_“Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan setelah penguburannya sebagai bentuk niyahah (ratapan).”_ (HR. Ahmad)[3]
Dalam riwayat lain, memukul-mukul pipi, merobek baju dan menyeru seruan jahiliyah.
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ .
_“Bukan dari golongan kami orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek baju dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (meratap).”_ (HR. al-Bukhari)[4]
Pada masa pandemi Covid-19, di antara protocol kesehatan adalah menghindari kerumunan dan penjarakan secara social. Ketika ada kematian, disunnahkan untuk berta’ziyah, namun terkadang secara tidak langsung mengundang orang untuk berkumpul, sehingga mendorong orang untuk berta’ziyah secara online melalui aplikasi pertemuan seperti zoom, google dan lainnya.
Ta’ziyah online tidak berbeda dengan ta’ziyah biasa, hanya yang membedakan adalah kehadiran secara fisik dan non fisik saja.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan:
1. Ta’ziyah, baik secara fisik ataupun online, sangat dianjurkan dan hukumnya sunat.
2. Niyahah atau meratapi mayit hukumnya haram dengan cara apapun.
3. Ta’ziyah yang identic dengan niyahah (meratapi mayit) baik offline maupun online, termasuk perbuatan tercela dan hukumnya haram.
_Wallahu a’lam bi al-shawwab!_
(Sumber: Majalah Risalah, Oktober 2021)
Baca pula : *MEMBACAAL-QURAN DARI MAJALAH, APAKAH DAPAT SYAFAAT?*
.
Kirimkan pertanyaan anda ke : 089626128748
.
Ahad pagi, 04 Ramadhan 1444 H/ 26 Maret 2023 M
.
.
.
Artikel ahmadwandilembang.com
.
=========
Dapatkan update tanya jawab masalah lainnya setiap hari dari ahmadwandi.blogspot.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kajian AWAL Official", caranya klik link https://t.me/awalofficialcom, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
[1] DHAIF. Ibnu Majah (1601), Abd bin Humaid (287), al-Thabrani dalam al-Du’a (1225), al-Baihaqi (4/59). Al-Bushiri berkata, “Dalam sanad ini terdapat perbincangan, Qaid Abu Amarah disebutkan oleh Ibnu HIban dalam al-Tsiqat. Al-Dzahabi berkata, Tsiqat. Al-Bukhari berkata, Fihi Nazhar. Menurutku, Sisa rawi lainnya sesuai syarat Muslim.” (al-Zawaid 1/286). Dihasankan oleh al-Nawawi dalam al-Adzkar (hlm. 156), didhaifkan oleh al-Dimyathi dalam al-Mutajar (hlm. 168), al-Arna’auth dalam Tahqih Ibnu Majah (2/532). Sementara al-Albani menghasankan dalam Shahih Ibnu Majah (1/267), al-Irwa’ (764), Ahkam al-Janaiz (hlm. 163), dan mendhaifkannya dalam Silsilat al-Dhaifah (2/77-78).
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Adi (4/1572), al-Thabrani dalam al-Du’a (1226), al-Qadha’I dalam Musnad al-Syihab (380), al-Khathib (7/397), Ibnu Asyakir dalam Tarikh Dimasqa (15/91) dari jalur Anas bin Malik. Namun menurut Ibnu Adi, “Hadis ini dengan sanad ini tidak ada asalnya.” Menurutku, “Padanya terdapat Abdullah bin Harun bin Musa al-Farwi.” Menurut al-Daraquthni, “Matrul al-Hadits.” Abu Ahmad al-Hakim berkata, “Munkar al-Hadits.” (Tahdzib al-Tahdzib 12/172-173)
[2] HASAN. Ahmad (1751), Abu Dawud (3132), al-Tirmidzi (1019). Dalam sanadnya terdapat Khalid bin Sarah atau Khalid bin Ubaid bin Sarah al-Makhzumi al-makki, ia shaduq. Taqrib al-Tahdzib (hlm. 188, No. 1637).
[3] SHAHIH. Ahmad (6905), Ibnu Majah (1612).
[4] SHAHIH. Ahmad (3658, 4215, 4111, 4361, 4430), Al-Bukhari (1297, 1298, 3519), al-Tirmidzi (999), al-Nasai (1862, 1864), dalam al-Kubra (2001, 2003), dalam Syu’ab al-Iman (9680), Ibnu Majah (1584), Ibnu Hiban (3149), Ibnu al-Jarud (516), al-Baghawi (1533), Ibnu Abi Syaibah (11339), al-Thabrani dalam al-Ausat (2143, 3967), al-Thahawi dalam Syarh al-Ma’ani (2/134-134), Abu Dawud al-Thayalisi (288), al-Bazzar (1954), al-Syasyi (381), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (5/39), al-Baihaqi (7115), dalam al-Shaghir (1143), Ibnu al-Arabi dalam Mu’jam (1897, 2156), al-Daulabi dalam al-Kuna (2/149), al-Khalal dalam al-Sunnah (1452, 1461), al-Khara’ithi dalam Masawi’u al-Akhlaq (690), Ibnu mandah dalam al-Iman (599, 600, 601, 602).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar