Orang yang boleh tidak shaum (gambar : pexels) |
ORANG YANG BOLEH TIDAK SHAUM, UMAT ISLAM WAJIB TAHU!
Shaum Ramadhan adalah hukumnya wajib. Di samping termasuk kepada salah satu rukun Islam yang lima, juga memiliki sejumlah keutamaan yang sangat istimewa.
Baca pula: 9 KeutamaanShaum
Namun meskipun diwajibkan ada sebagian kalangan yang diperbolehkan untuk tidak shaum. Maksudnya orang-orang tersebut diberi keringanan untuk tidak shaum karena kondisinya yang berat, dan ajaran islam itu memang mudah dan ringan, serta tidak membebani umatnya di luar batas kemampuannya.
Orang yang diberikan keringan untuk tidak shaum tersebut, tetap memiliki kewajiban sebagai penggantinya, baik dengan qadha ataupun fidyah. Qadha artinya mengerjakan shaum tersebut nanti di luar Ramadhan. Adapun fidyah adalah memberikan makan kepada fakir miskin.
Baca Juga : 7 Keutamaan Bulan Ramadhan
Siapa saja orang yang dibenarkan tidak shaum secara syariat? Berikut uraiannya.
1. Orang Yang Sakit
Orang yang boleh tidak shaum pertama adalah orang yang sakit. Tentu saja sakit tidak bisa shaum atau yang shaum akan membahayakan sakitnya.
Allah swt berfirman,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah [2] : 185).
Dari Muadz bin Jabal, ia berkata : … Lalu Allah Azza Wajalla menurunkan ayat …
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ قَالَ فَأَثْبَتَ اللَّهُ صِيَامَهُ عَلَى الْمُقِيمِ الصَّحِيحِ وَرَخَّصَ فِيهِ لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ
“Barangsiapa menyaksikan bulan ramadhan, wajib ia berpuasa pada bulan itu”. Setelah itu, Allah mewajibkan puasa itu bagi yang muqim (berada ditempat sendiri) lagi sehat, dan memberi rukhsah bagi yang sakit dan safar (untuk tidak berpuasa). (HR. Ahmad)[1]
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut, orang yang sakit diperbolehkan tidak shaum, tetapi harus menggatinya dengan qadha sebanyak hari yang ia tinggalkan.
2. Orang Yang Safar
Orang yang boleh tidak shaum kedua adalah orang yang safar. Yaitu melakukan perjalanan atau bepergian ke luar daerah. Musafir mengganti shaumnya dengan qadha, yaitu shaum lagi di luar Ramadhan sebanyak jumlah hari yang ditinggalkannya.
Allah swt berfirman,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah [2] : 185)
Berdasarkan ayat ini, orang yang safar diperbolehkan tidak shaum, tetapi harus menggatinya dengan qadha sebanyak hari yang ia tinggalkan.
Musafir punya dua pilihan, boleh buka dan boleh tetap shaum. Abu Sa’id al-Khudri dan Jabir bin Abdillah berkata, “Kami pernah bersafar bersama Rasulullah saw, maka ada yang tetap shaum dan ada yang tidak shaum, namun mereka tidak saling mencela satu dan lainnya. (HR. Muslim)[2]
Namun kondisi safar yang membuatnya sangat payah dan mengancam keselamatan jiwanya, berbuka shaum bukan dibolehkan, tetapi wajib baginya. Dari Jabir bin bdillah, ia berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ مَا هَذَا فَقَالُوا صَائِمٌ فَقَالَ لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ
Pernah Rasulullah saw dalam suatu perjalanan melihat kerumunan dan seorang laki-laki yang sudah kepayahan. Beliau bertanya, ada apa ini ? Mereka menjawab, “Seorang yang shaum”. Maka beliau bersabda, “Tidak termasuk kebaikan melakukan shaum pada waktu safar.” (HR Bukhari)[3]
Dari Jabir bin Abdillah, bahwasanya Rasulullah saw keluar pada waktu putuh makah di bulan ramadhan, beliau shaum sehingga sampai ke Kura’al Ghamim, maka orang-orang juga melaksanakan shaum, kemudian beliau meminta sewadah air, lalu mengangkatnya sehingga kelihatan oleh semua orang, kemudian meminumnya. Setelah itu dikatakan kepada beliau, bahwasanya sebagian orang-orang ada yang masih melaksanakan shaum. Maka beliau bersabda : “Mereka itu pelaku maksiat 2 kali”. (HR Muslim)[4]
Dengan demikian Imam al-Nawawi menjelaskan :
a. Jika musafir merasa berat untuk shaum atau sulit melakukan berbagai kebaikan, maka tidak shaum lebih utama baginya.
b. Jika tidak memberatkan untuk shaum dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai kebaikan, maka pada saat itu lebih utama untuk shaum.
c. Jika melaksanakan shaum membahayakan keselamatan jiwanya, maka wajib tidak shaum baginya.[5]
3. Orang Yang Sudah Tua Renta
Orang yang boleh tidak shaum ketiga adalah orang yang sudah tua renta atau lanjut usia. Maksudnya mereka sudah tidak mampu lagi untuk menjalankan ibadah shaum, maka diperbolehkan untuk tidak shaum. Dan shaumnya diganti dengan fidyah.
Allah swt berfirman,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al-Baqarah [2] : 184)
Ibnu Abbas berkata: Ayat ini tidak dinaskh (hapus), yaitu (ayat ini mengenai) kakek-kakek dan nenek yang sudah tidak mampu shaum, maka hendaklah dia memberi makan setiap hari kepada orang miskin. (HR Bukhariy)[6]
Dari Ibnu Abas, ia berkata :
رَخَّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ أَنْ يُفْطِرَ وَ يُطْعِمَ عَلَى كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ
“Dirukhsahkan bagi orang tua lanjut usia (yang payah melakukan shaum) untuk berbuka dan (wajib) memberi makan orang miskin setiap hari, dan tidak ada qadha baginya. (HR. al-Daraquthni)[7]
4. Wanita Hamil Dan Menyusui
Orang yang boleh tidak shaum keempat adalah wanita hamil dan menyusui. Dan menggantinya dengan fidyah.
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
«إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ، وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ»
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga shaum dari wanita hamil dan menyusui.” (HR. Nasai)[8]
Dari Said bin Jubair, bahwasanya Ibnu Abbas berkata :
لِأُمِّ وَلَدٍ لَهُ حُبْلَى أَوْ تَرْضَعُ أَنْتِ مِنَ الَّذِيْنَ لَا يُطِيْقُوْنَ الصِّيَامَ وَ عَلَيْكِ الْجَزَاءُ وَلَيْسَ عَلَيْكَ الْقَضَاءُ
“Bagi ibu yang hamil dan menyusui, kamu sekedudukan dengan orang yang payah untuk shaum, maka wajib atas kamu fidyah dan tidak ada qadha.” (HR Al-Daraquthni)[9]
Apabila shaum akan dapat menimbulkan madharat (mengancam keselamatan jiwa), baik bagi dirinya maupun bagi bayinya (yang hamil), maka tidak shaum itu bukan hanya dibenarkan dan diperbolehkan, tetapi menjadi wajib baginya.
5. Wanita Haid Dan Nifas
Orang yang boleh tidak shaum kelima adalah wanita haid atau nifas. Bahkan bukan boleh, tetapi haram shaum baginya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلَى الْمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ ....أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ ...
Dari Abi Said Al Khudry, ia berkata : “Rasulullah saw berangkat pada hari Ied ke Mushala (lapang), lalu lewat pada kaum perempuan, lalu bersabda : Wahai kaum perempuan ! … bukankah perempuan itu apabila haid tidak shalat dan tidak shaum ? …” (HR Al Bukhary)[10]
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ : كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا.
Dari Umu Salamah, ia berkata : “Keadaan perempuan-perempuan yang nifas duduk (tidak shalat dan tidak shaum) pada masa Rasulullah saw selama empat puluh hari.” (HR Ahmad)[11]
فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ.
“…. Maka kami diperintah mengqadha shaum dan tidak diperintah mengqadha shalat.” (HR. Abu Dawud)[12]
Perempuan yang haid dan nifas tidak boleh shaum dan shalat, namun tetap mendapatkan pahala dengan tidak shaum dan shalatnya. Sebagaimana dalam hadis di atas, ia berkewajiban untuk mengqadha ibadah shaumnya di luar Ramadhan.
Demikian beberapa golongan yang boleh tidak shaum di bulan Ramadhan, bahkan ada yang dilarang. Ini semua membuktikan bahwa ajaran islam itu mudah, ringan dan tidak memberatkan. Sesuai dengan situasi, kondisi, dan kemampuan umat manusia. Wallahul musta’an!
Kamis sore, 01 Ramadhan 1444/ 23 Maret 2023
Artikel ahmadwandilembang.com
=========
Dapatkan update artikel islam setiap harinya dari ahmadwandi.blogspot.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kajian AWAL Official", caranya klik link https://t.me/awalofficialcom, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
[1] Shahih. Ahmad (22124).
[2] Shahih. Shahih Muslim (1117).
[3] Shahih. Al-Bukhari (1945), Muslim (108).
[4] Shahih. Muslim (1113).
[5] Al-majmu syarh al-muhadzdzab 6/175, shahih fiqh al-Sunnah 2/120-121.
[6] Shahih. Al-Bukhari (4505).
[7] Shahih. al-Daraquthni (2380), Al-Hakim (1607), al-Baihaqi Kubra (8318), al-Muharar (629), Bulugh al-Maram (631), al-Ilmam (668). Dishahihkan oleh al-Hakim dan al-Daraquthni.
[8] Hasan. an-Nasai (2274). Shaikh Albani dan Syaikh Syu’aib al-Arnauth mengatakan bahwa hadis ini hasan.
[9] Shahih. Al-Daraquthni (2382), al-Bazzar (4996). Dishahihkan oleh al-Daraquthni.
[10] SHAHIH. Al-Bukhari (304).
[11] HASAN LIGHAIRIH. Ahmad (26561), (26584), al-Tirmidzi (139), Ibnu Majah (648), Abu Ya’la (7023), al-Daraquthni (1/221-222). Hadis ini diriwayatkan melalui sahabat lain: Anas bin Malik, Usman bin Abu al-Ash, Aisyah, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, seluruhnya terdapat kelemahan, namun dengan banyaknya saling menguatkan dan derajatnya menjadi hasan lighairih.
[12] SHAHIH. Abu Dawud (263).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar