Doa buka puasa (gambar: Pixabay) |
TAKHRIJ HADIS “DO’A BUKA SHAUM DZAHABA AL-ZHAMA’U …”
Bulan Ramadhan penuh dengan berbagai keutamaan dan dinyatakan sebagai bulan penuh berkah. Tentu saja dengan berbagai ibadah-ibadah mulia yang disyariatkan di dalamnya.
Disamping berdo’a di bulan tersebut murtajab (dikabulkan), juga terdapat beberapa do’a khusus berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut. Termasuk ketika berbuka shaum, banyak doa yang diajarkan, meskipun secara validitas (shahih atau tidaknya) doa tersebut dari Rasul masih menjadi perbincangan hampir di setiap bulan Ramadhan. Di sisi lain, do’a-do’a yang belum jelas tersebut sebagian sudah diamalkan di masyarakat dan didakwahkan di berbagai media.
Baca pula : Ternyata Dhaif: Doa Allahuma Laka Sumtu
Dalam kesempatan ini, kita akan sedikit mengulas takhrij hadis do’a bukan shaum yang maqbul (bisa diamalkan) bersumber dari Rasulullah saw. Yaitu doa berbuka yang menyatakan, bahwa Nabi saw. Apabila hendak berbuka membaca do’a :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Telah hilang dahaga, terbasahi tenggorokan, dan telah ditetapkan pahala, insya Allah.”
(HR. Abu Daud, Sunan Abi Dawud 2/529 no. 235, al-Bazar, Musnad al-Bazar 2/221 no. 5395, al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain 1/422 no. 1536, al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra al-Baihaqi 2/255, al-Sunan al-Shugra 2/112 no. 1083, Syu’ab al-Iman 3/407, al-Da’wat al-Kabir 2/97 no. 499, al-Daraquthni, Sunan al-Daraquthni 2/185 no. 25, al-Nasa’i, al-Sunan al-Kubra al-Nasa’I 2/255, Amal al-Yaum Wa al-Lailah 1/268, al-Baghawi, Syarh al-Sunnah al-Baghawi 6/265 no. 1740)
Hadis ini diriwayatkan oleh para mukharij melalui jalur yang sama, yaitu Ali bin al-Hasan bin Syaqiq, dari al-Husain bin Waqid, dari Marwan bin Salim, dari Ibnu Umar, secara Marfu’.
Hadis di atas dinilai hasan oleh Al-Daraquthni, “al-Husain bin Waqid menyendiri dalam hadis ini, dan sanadnya hasan” (Sunan al-Daraquthni 3/156), meskipun dalam sanadnya terdapat rawi yang majhul, yaitu Marwan bin Salim al-Muqaffa’. Ia dipandang Majhul karena hanya memilik dua orang murid, yaitu al-Husain bin Waqid dan ‘Uzrah bin Tsabit al-Anshari. Disebutnya Majhul hal atau Mastur.
Penilaian hasan dari Al-Daraquthni, padahal terdapat rawi yang majhul dijelaskan sendiri oleh beliau :
وَإِنَّمَا يَثْبُتُ الْعَمَلُ عِنْدَهُمْ بِالْخَبَرِ إِذَا كَانَ رَاوِيهِ عَدْلاً مَشْهُورًا أَوْ رَجُلٌ قَدِ ارْتَفَعَ عَنْهُ اسْمُ الْجَهَالَةِ وَارْتِفَاعُ اسْمِ الْجَهَالَةِ عَنْهُ أَنْ يَرْوِيَ عَنْهُ رَجُلاَنِ فَصَاعِدًا فَإِذَا كَانَ هَذِهِ صِفَتَهُ ارْتَفَعَ عَنْهُ اسْمُ الْجَهَالَةِ وَصَارَ حِينَئِذٍ مَعْرُوفًا فَأَمَّا مَنْ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ إِلاَّ رَجُلٌ وَاحِدٌ انْفَرَدَ بِخَبَرٍ وَجَبَ التَّوَقُّفُ عَنْ خَبَرِهِ ذَلِكَ حَتَّى يُوَافِقَهُ عَلَيْهِ غَيْرُهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“Namun mereka beramal dengan hadis apabila rawinya adil dan masyhur atau rawi yang terangkat kemajhulannya. Dan rawi Majhul terangkat kemajhulannya apabila meriwayatkan darinya dua orang rawi atau lebih. Maka apabila rawi Majhul demikian sifatnya, maka terangkat jahalahnya dan sekarang menjadi ma’ruf. Adapun rawi yang hanya memiliki satu murid, menyendiri dalam periwayatannya, maka wajib tawaquf (diam) dari hadisnya tersebut sehingga riwayat lain sesuai dengannya. WAllahu a’lam” (Sunan al-Daraquthni 4/226-227)
Baca Juga : Tarhib Ramadhan
Marwan bin Salim al-Muqaffa’ adalah rawi tingkatan ausat tabi’in. Ali bin Nayif al-Syahud menjelaskan periwayatan rawi Majhul terbagi kepada empat tingkatan dengan hukum yang berbeda. Majhul dari kalangan sahabat, Majhul dari kalangan kibar atau ausat tabi’in, Majhul dari kalangan sighar tabi’in, dan Majhul dari kalangan tabi’ tabi’in atau generasi sesudahnya.
Berkaitan dengan Majhul dari kalangan kibar atau ausat tabi’in, ia menjelaskan :
وهم الذين تتلمذوا على أيدي الصحابة الكرام فأمثال هؤلاء يقبل حديثهم إذا سلم من المخالفة .
“Mereka adalah orang-orang yang belajar di hadapan para sahabat yang mulia, maka orang-orang seperti mereka diterima hadisnya apabila selamat dari mukhalafah. (al-Hafizh Ibnu Hajar wa Manhajuhu fi Taqrib al-Tahdzib, hlm. 63)
Al-Dzahabi berkata, “Adapun rawi-rawi Majhul dari kalangan kibar atau ausat tabi’in, dipertimbangkan hadisnya dan diterima dengan husnu zhan (berbaik sangka), apabila selamat dari mukhalafah dengan ushul dan rukakah lafazh….” (Diwan al-Dhu’afa wa al-Matrukin, hal. 374)
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Adapun mubham adalah rawi yang tidak disebut namanya, atau disebut namanya namun tidak ketahui pribadinya, maka ini termasuk rawi yang tidak diterima riwayatnya sebagaimana kita ketahui. Namun apabila pada masa tabi’in dan generasi yang dipersaksikan kebaikan pada mereka, maka rawi tersebut disukai periwayatannya, dan menjadi cahaya di beberapa tempat, dan banyak terdapat dalam Musnad Imam Ahmad dan yang lainnya tentang penerimaan ini.” (Ikhtishar Ulum al-Hadits, hlm. 81)
Syaikh al-Albani berkata : “Dan yang wajib diperingatkan juga, bahwa hendaknya menggabungkan kepada apa yang disebutkan oleh al-Mu’alimi, perkara lainnya yang penting, yang dapat mengetahuinya dengan mendalami ilmu ini, sedikit sekali yang memperhatikannya dan dilalaikan oleh mayoritas penuntut ilmu, yaitu rawi yang ditsiqahkan oleh Ibnu Hiban dan diriwayatkan darinya oleh sejumlah rawi yang tsiqah serta tidak datang riwayat yang mengingkarinya, maka ia adalah rawi shaduq yang dapat dijadikan hujjah.” (Tamam al-Minnah, hlm. 25)
Marwan bin Salim pun dinilai maqbul oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Taqrib (10/93). Meskipun makna maqbul menurut Ibnu Hajar itu adalah dhaif, dalam artian maqbul apabila ada mutabi’ (riwayat lain sebagai penguat).
Baca pula : Hadis Dhaif Seputar Buka Shaum
Namun apabila kita kaji secara langsung, ternyata penilain maqbul dari Ibnu Hajar tidak selamanya dhaif. Buktinya, Ibnu Hajar sendiri banyak menilai hasan terhadap hadis, yang mana dalam sanadnya terdapat rawi maqbul dan ia tafarud (menyendiri).
Dalam kitab al-Ta’liq al-Ma’mul ‘ala ma’na Qouli Ibni Hajar Maqbul” disebutkan beberapa contoh hadis bagi rawi tafarud yang dinilai maqbul oleh Ibnu Hajar, dan beliau menilai hadis tersebut sebagai hadis hasan. Salah satu contoh hadis tersebut, dalam Tagliq al-Ta’liq (3/319) al-Hafizh berkata :
« قَالَ الإِمَامُ أَحْمَدُ (4/388) ، وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ : حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا وَبْرُ بْنُ أَبِي دُلَيْلَةَ شَيْخٌ مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مَيْمُونِ بْنِ مُسَيْكَةَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ خَيْرَاً عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - : « لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ » . قَالَ وَكِيعٌ : عِرْضُهُ شِكَايَتُهُ ، وَعُقُوبَتُهُ حَبْسُهُ .
Menurut al-Hafizh, hadis ini sanadnya hasan, padahal dalam al-Taqrib (1/490) rawi yang bernama Muhammad bin Maimun bin Musaikah al-Tha’ifi adalah maqbul peringkat ke enam.
Dalam Fath al-Bari (5/62) berkata, “… Sanadnya hasan, al-Thabrani berkata, bahwa hadis ini tidak diriwayatkan kecuali melalui sanad ini. Menurut Abu Muhammad al-Alafi , “Ini termasuk sesuatu yang paling jelas dan menjelaskan kepada maksud al-Hafizh dalam istilahnya, yaitu menghasankan hadis rawi maqbul, dalam keadaan tafarud, dan tidak ada mutabi’ baginya. (al-Hafizh Ibnu Hajar wa Manhajuhu fi al-Taqrib , hlm. 57)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa hadis do’a buka shaum “dzahaba al-zhama’u …” adalah maqbul menempati martabat hasan lidzatih. Wallahu a’lam bi al-shawwab.
Diringkas dari tulisan lama tahun 2017.
Baca Pula: 4 Tips Agar Sukses Di Bulan Ramadhan
Senin sore, 27 Sya’ban 1444/ 20 Maret 2023
Artikel ahmadwandilembang.com
=========
Dapatkan update artikel islam setiap harinya dari ahmadwandi.blogspot.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kajian AWAL Official", caranya klik link https://t.me/awalofficialcom, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar