Melafalkan niat dalam shalat (Gambar: Pixabay) |
(1) KEKELIRUAN DALAM SHALAT: MELAFALKAN NIAT
Melafalkan niat dalam shalat dan ibadah yang lainnya tidak disyariatkan. Dalam istilah ulama fiqih disebut talafuzh bin-niyat. Dalam keseharian kita lebih populer dengan istilah ushalli. Rasulullah saw tidak memerintahkan dan mencontohkannya.
Hadis Nabi saw tentang ushalli di bawah ini:
بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَلَسَ مَعَ اَصْحَابِهِ فِي الْمَسْجِدِ اِذْ اَتَاهُ فاَطِمَةُ فَسَأَلْتُهُ عَنْ صَلاَةِ الْعَصْرِ فَقَالَ : قُوْلِيْ أُصَلِّيْ فَرْضَ الْعَصْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى وَقُوْلِيْ أُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ اَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى.-البخاري و مسلم-
Ketika Nabi saw duduk bersama para sahabatnya di mesjid, tiba-tiba datanglah Siti Fatimah kepadanya sambil bertanya perihal shalat ashar. Maka beliau menjawab : Ucapkanlah olehmu, “ USHOLLI FARDHOL ASRI … Aku shalat fardhu ashar empat rakaat dengan tunai karena Allah Ta’ala”, dan ucapkan pula, “Aku shalat fardhu dzuhur empat rakaat dengan tunai karena Allah yang maha mulia.” (HR Bukhari Muslim)[1]
Hadis ini dengan “HR Bukhari Muslim” terkesan shahih, bahkan sangat shahih, sehingga tidak diragukan lagi keshahihannya. Namun ternyata ini bukan hadis, kitab hadis yang mu’tabar (diakui/legal) tidak ada yang memuat hadis seperti itu. Apalagi Imam hadis sekaliber Bukhari dan Muslim. Sungguh dia telah berdusta atas nama Nabi saw dan atas nama Bukhari Muslim. Semoga Allah membukakan pintu taubat baginya dan bagi orang-orang yang mengikutinya.
Ust. Moh. Ma’sum mengatakan, hadis palsu tentang ushalli itu (di atas), sepanjang pengetahuan kami, dibuat oleh seorang yang bernama Haji Usman yang sudah pernah tinggal di Bandung. Menurut beliau, kaum Muslimin harus waspada, orang yang membawa hadis-hadis ushalli itu, perlu dituntut supaya ia perlihatkan tempatnya dari Bukhari.[2]
Hadis lain yang sering dialamatkan sebagai dalil ushalli adalah:
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku melakukan ushalli ...” (HR. Bukhari)[3]
Adalah salah kaprah, karena “ushalli” dalam hadis tersebut bukan membaca ushalli atau melafadzkan niat dalam shalat. Ushalli secara bahasa berarti “aku shalat”, maksud hadis tersebut adalah shalatlah seperti melihat Rasul shalat. Artinya, shalat kita harus sama dengan shalat Rasul. Kalau Rasul pakai ushalli, kita pun harus pakai ushalli. Tetapi kalau tidak, jangan coba-coba melakukannya. Dengan demikian, kalau Rasul shalatnya tidak pakai ushalli, maka orang yang shalatnya pakai ushalli telah melanggar hadis ini.
Pendapat ulama yang mengatakan bahwa lisan dapat membantu hati
وَ سُنَّ نُطْقٌ بِمَنْوِيٍّ قَبْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ اْلقَلْبَ.
Dan disunatkan mengucapkan niat sebelum takbir supaya lisan membantu hati.[4]
Pendapat ulama yang mengatakan bahwa mengucapkan niat hukumnya sunat
النِِّيَّةُ قَصْدُ الشَّيْئِ مُقْتَرَنًا بِفِعْلِهِ وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ. وَالتَّلَفُّظُ بِهَا سُنَّةٌ لِيُعاَوِنَ اللِّّسَانُ الْقَلْبَ.
Niat itu adalah bermaksud melakukan sesuatu yang disertai melakukannya dan tempat niat itu di dalam hati, sedangkan mengucapkannya adalah sunat, agar lisan membantu hati.[5]
Pendapat ini tidak dapat dibenarkan sama sekali karena tidak ada dalilnya. Apalagi secara logika, bukan lisan yang membantu hati, tetapi hati yang membantu lisan. Seperti terungkap dalam sabda Nabi saw :
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“ingatlah ! sesungguhnya dalam jasad itu terdapat mudhghah yang apabila mudhghah itu baik, maka baik pula seluruh jasadnya, dan apabila mudhghah itu rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya, ketahuilah itu adalah hati.” (HR. Bukhari dari an-Nu’man bin Basyir)[6]
Wajib dan sunatnya suatu ibadah hanya Allah yang menentukan dan dapat diketahui berdasarkan dalil yang kuat dari al-Qur’an dan al-sunnah. Sedangkan ushalli tidak ada dalilnya sama sekali, dari mana hukumnya sunat?
Sesuatu yang perlu digarisbawahi, kalaulah benar mengucapkan niat itu hukumnya sunat. Meskipun tanpa dalil yang kuat. Mengapa mereka tidak mengucapkan niat ketika azan, iqamat, shadaqah, baca Qur’an, baca kitab, khutbah, shalawat, dan ibadah-ibadah yang lainnya ? Apabila niat itu memang harus diucapkan, kenapa tidak dalam semua ibadah ?
Alasan lain bahwa melafazdkan niat dalam shalat itu adalah diqiyaskan kepada niat dalam haji. Maksudnya, dalam melaksanakan ibadah haji disyariatkan melafadzkan niat (labbaika Allahumma hajjan) yang diucapkan dengan lisan sebagai niat ibadah haji. Demikian pula niat dalam shalat boleh diucapkan dengan lisan.
Pendapat ini pun perlu diluruskan. Pertama, shalat lebih dahulu disyariatkan daripada haji. Mengqiyaskan sesuatu yang lebih dahulu ada kepada sesuatu yang baru atau datangnya kemudian tidak bisa.
Kedua, tidak ada qiyas dalam urusan ibadah. Karena ibadah itu sampai kapanpun sudah mutlak dan tidak akan berubah-ubah, tidak dikurang dan juga ditambah. Berbeda dengan urusan duniawi yang akan selalu berubah dan berkembang.
Kalaulah qiyas berlaku dalam ibadah, kenapa kita tidak azan dan qamat dalam shalat jenazah, shalat ied, shalat tarawih, karena diqiyaskan kepada shalat lima waktu ? Bolehkah kita menqashar shalat shubuh menjadi satu rakaat, dan maghrib 1,5 rakaat, karena diqiyaskan kepada shalat zhuhur? Bolehkah kita mengqashar shaum menjadi setengah hari dalam safar, karena diqiyaskan dengan shalat qashar? Bolehkah shubuh empat rakaat diqiyaskan dengan zhuhur dan sebaliknya?
Kemudian pernyataan Imam al-Syafi’i yang mengatakan : “Apabila seseorang niat haji dan umrah sudah cukup, meskipun tidak dilafadzkan, berbeda dengan shalat, karena shalat itu tidak sah melainkan dengan ucapan.”
Ini pun tidak bisa dijadikan alasan adanya ushalli. Karena yang dimaksud oleh beliau bukan ushalli tetapi takbiratul ihram. Dalam hal ini Imam an-Nawawi (pengikut madzhab Syafi’i) menjelaskan :
“Telah berkata para sahabat kami (ulama dari kalangan madzhab Syafi’i), orang yang memahami perkataan itu sebagai ushalli adalah keliru. Karena yang dimaksud oleh Imam Syafi’i bukan demikian. Akan tetapi, yang dimaksud beliau adalah ucapan mulai shalat, yakni takbiratul ihram.”[7]
Kemudian shalat yang dicontohkan Rasulullah saw itu dimulai dengan takbir. Sebagaimana keterangan berikut :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ –مسلم-
Dari Siti Aisyah ia berkata, “Adalah Rasulullah saw membuka shalat dengan takbir.” (HR Muslim)[8]
Bukan berarti tanpa niat, karena dalam setiap perbuatan –termasuk shalat- sudah mafhum dan maklum (dipahami dan diketahui) mesti memakai niat. Sehingga tidak perlu disebutkan kembali, kecuali apabila ada perbedaan. Dan dengan tidak disebutkannya secara khusus, menunjukkan bahwa niat shalat tidak ada perbedaan dengan niat ibadah yang lainnya.
Dalam hadis lainnya disebutkan pula sebagai berikut :
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَتَحَ التَّكْبِيرَ فِي الصَّلَاةِ فَرَفَعَ يَدَيْهِ ...-البخاري-
Bahwasanya Abdullah bin Umar, semoga Allah meridhai keduanya, ia berkata, “Aku melihat Nabi saw memulai dengan takbir dalam shalat, lalu beliau mengangkat kedua tangannya…” (HR Bukhari 696)[9]
Perlu ditegaskan di sini, bahwa mengenai masalah memulai shalat yang hadisnya bersumber dari para sahabat, semuanya tidak ada perbedaan bahwa Rasulullah saw memulai shalatnya dengan takbir. Tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan, beliau memulai shalat dengan ushalli.
Oleh karena itu, adanya ushalli dalam shalat tidak pernah diriwayatkan oleh seorang pun, baik dengan riwayat yang shahih ataupun dhaif. Tidak ada seorang pun sahabat yang meriwayatkannya, dan tidak ada seorang tabi’in pun yang menganggap baik masalah ini, dan tidak pula dilakukan oleh empat Imam madzhab yang masyhur, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Penulis sempat mendapatkan pertanyaan, ustadz kan shalat gerhana itu ada perintahnya, bagaimana niatnya? Penulis akhirnya menjelaskan, bahwa kalaulah ushalli itu ada dan termasuk bacaan shalat, pasti akan diterangkan secara lengkap dalam hadis seperti bacaan shalat yang lainnya. Dengan tidak adanya bacaan ushalli, termasuk ushalli untuk shalat gerhana, menunjukkan bahwa ushalli tidak ada perintahnya dan lebih baik ditinggalkan.
Apabila tidak ada dalil tentang ushalli, kemudian dipaksakan harus ada dalam setiap shalat, maka akan banyak shalat yang tidak dilaksanakan karena tidak ada ushalli-nya. Demikian pula ibadah yang lainnya.
Dalam maslah ini, alangkah baiknya apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu al-Qayyim :
كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلىَ الصَّلَاةِ قَالَ أَللهُ أَكْبَرُ, وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا وَلَا يَلْفِظُ بِالنِّيَّةِ أَلْبَتَةَ وَلَا قَالَ أُصَلِّي لِلَّهِ صَلَاةً مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إِمَامًا أَوْ مَأْمُوْمًا وَلَا قَالَ أَدَاءً وَلَا قَضَاءً وَلَا فَرْضَ اْلوَقْتِ. وَهَذِهِ عَشْرُ بِدَعٍ لَمْ يَنْقُلْ عَنْهُ أَحَدٌ قَطُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ وَلَا مُسْنَدٍ وَلَا مُرْسَلٍ لَفْظٌ وَاحِدَةٌ مِنْهَا أَلْبَتَةَ بَلْ وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَلَا اسْتَحْسَنَهُ أَحَدٌ مِنَ التَّابِعِيْنَ وَلَا الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ.-زاد المعاد 1/51-
Adalah Nabi saw apabila berdiri untuk shalat, beliau mengucapkan ; ALLAHU AKBAR, dan tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya dan tidak melafadzkan niat sama sekali, juga tidak mengucapkan ; USHOLLI LILLAHI … ( aku shalat karena Allah, shalat ini dengan menghadap qiblat, empat rakaat sebagai Imam atau sebagai ma’mum, dan juga tidak mengucapkan ; ada’an (tunai) atau qadha’an dan juga tidak mengucapkan fardhan al waqti. Ini adalah sepuluh bid’ah yang tidak diriwayatkan oleh seoarang pun dengan sanad yang shahih, tidak dengan sanad yang bersambung ataupun mursal (putus), satu katapun sama sekali, bahkan tidak diriwayatkan dari seorang sahabat dan tidak ada yang menganggap baik seorangpun dari kalangan tabi’in atau dari para Imam madzhab yang empat.[10]
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa melafalkan niat dalam shalat tidak disyariatkan sebagaimana dalam ibadah yang lainya. Wallahu a’lam bi al-shawwab !
Catatan: Setuju atau tidak setuju, tetap saling menghargai dan menghormati perbedaan. Perbedaan jangan menjadi perpecahan atau pemusuhan di antara kita sesama Umat Islam. Bagi yang ingin berdiskusi, silahkan tanggapi secara jujur dan ilmiah lewat tulisan di kolom komentar. Terima kasih
Insya Allah bersambung ,,,,
Ahad pagi, 04 Ramadhan 1444 H/ 26 Maret 2023 M
Artikel ahmadwandilembang.com
=========
Dapatkan update artikel islam setiap harinya dari ahmadwandi.blogspot.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kajian AWAL Official", caranya klik link https://t.me/awalofficialcom, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
[1] Dinukil dari soal-jawab A. Hassan 2/425.
[2] Soal Jawab A. Hasan 2/425.
[3] Shahih al-bukhari 1/3037 no. 6008. Menurut pendapat sebagian orang awam yang pernah terdengar oleh penulis.
[4] I’anatut Thalibin 1/130.
[5] Safinatun Naja hal. 19.
[6] Shahih al-bukhari 1/38 no. 52.
[7] tahqiq akhta’ al-mushallin, hal. 91.
[8] Shahih muslim 2/54 no. 1138.
[9] Shahih al-bukhari 1/340 no. 738.
[10] Zadul Ma’ad 1/51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar